![]() |
foto : www.dictio.id |
“ Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan.” ( Amsal 15 : 33 )
Kondisi pendidikan sekarang di Indonesia ada istilah fasilitas di sekolah abad 19 , gurunya abad 20 sedangkan muridnya berada di abad 21 . Perubahan yang cepat terjadi di abad ini , akibat teknologi informasi menjadikan dunia hanya dipegang satu jari semua informasi dan komunikasi terbuka lebar untuk semua orang . Ini tantangan bagi guru untuk mempersiapkan diri mengalami perubahan yang begitu cepat . Ada baiknya kita merenungkan pendapat Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland, dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001) yang dianggap kontroversial tapi ternyata menjadi “best seller”, mengemukakan beberapa hal tentang bangsa-bangsa Asia yang telah membuka mata dan pikiran banyak orang :
Bagi kebanyakan orang Asia, dalam budaya mereka, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreativitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan banyak.
Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada CARA memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai cerita, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir/diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban” bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT dll, semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.
Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit- sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).
Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa jadi juara dalam Olimpiade Fisika, dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Asia yang menang Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Orang Asia takut salah (KIASI) dan takut kalah (KIASU). Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil risiko kurang dihargai.
Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.
Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta Asia jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru/narasumber untuk minta penjelasan tambahan.
Dalam bukunya Profesor Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:
Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya bukan karena kekayaannya.
Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban .
Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.
Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban utk X x Y harus dihafalkan?
Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya.
Biarkan anak memilih profesi berdasarkan PASSION (rasa cinta) nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.
Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil resiko. AYO BERTANYA!
Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya.
Mari akui dengan bangga kalau KITA TIDAK TAHU!
Passion manusia adalah anugerah Tuhan.Sebagai orang tua kita bertanggung-jawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya.
Sekarang bukan waktunya guru sibuk dengan urusan administrasi untuk menyenangkan hati kepala sekolah dan pengawas tetapi dibutuhkan guru yang kreatif dan inovatif bagi siswanya . Setiap waktu pembelajaran dengan siswa ada pertanyaan yang muncul dalam hati saya : Apa yang akan kuberikan kepada mereka ? Apakah hal ini bermanfaat bagi mereka ? Apakah yang aku berikan bisa diterima dengan jelas ? Bagaimana dengan metode yang akan aku gunakan ? Bukankah dengan memberi pemahaman dan pengetahuan mereka dapat mencari digoogle ? Tidak heran kalau orang tua murid sekarang protes karena anak diberinya tugas yang sudah ada di google , anak tinggal copy paste . Hal ini tidak perlu ada guru bisa dikerjakan oleh sang murid . Tidak perlu bayar mahai-mahal lagi kepada sekolah . Disinilah perlu kreatif dan inovatif bagi seorang guru . Guru harus bisa kobelarasi terhadap pokok bahasan yang satu dengan pokok bahasan yang lainnya atau KD yang satu dengan KD lainnya sehingga murid dapat menganalisa , mengklarifikasi dan mengevaluasi pembelajaran secara ilmiah . Tentu ini pekerjaan yang tidak mudah tetapi perlu dicoba secara perlahan-lahan . Hal ini perlu belajar dari orang lain , intrernet bahkan sang murid . Bukankah belajar seumur hidup ( long life education ) yang tidak akan habis seumur hidup kita . Tanggungjawab moral guru bukan kepada kepala sekolah atau yayasan tetapi kepada orang tua yang memberi kepercayaan kepada gurunya . Orang tua murid sebagai consumer pendidikan dan kepercayaan orang tua harus dipegang oleh setiap guru untuk melayani sang murid . Perlu ada paradigma baru setiap guru untuk mengalami perubahan ini . Orang tua adalah pendidik pertama dan utama di rumah . Pendidikan karakter berawal dari rumah sedangkan sekolah hanya mengkuatkan tentang pendidikan karakter . Ada bagian dan peran masing-masing , saat home learning ini kesempatan bagi orang tua untuk mendampingi putra-putrinya . Sibuk dengan pekerjaan itu kadang-kadang alasan bagi orang tua sehingga tidak ada waktu untuk anaknya . Tuhan memberi waktu selama 24 jam , apakah tidak ada waktu dua atau empat jam untuk berkomunikasi dengan anak kita . Menjadi pendengar bagi anak-anak atau cerita tentang kita , hal itu lebih menyentuh daripada harta yang akan kita berikan kepada mereka . Ada baiknya kita renungkan Kahlil Gibran tentang “anak” sebagai berikut :
Anakmu Bukanlah Milikmu - By Kahlil Gibran
Anak adalah kehidupan,
Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal Darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan Pikiranmu
karena mereka Dikaruniai pikiranya sendiri
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya,
Karena jiwanya milik masa mendatang
Yang tak bisa kau datangi
Bahkan dalam mimpi sekalipun
Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
Menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju kedepan, dan
Tidak tengelam di masa lampau.
Kaulah busur,
Dan anak – anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menantangmu dengan kekuasaan-Nya,
hingga anak panah itu meleset,
jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita
Dalam rentangan Sang Pemanah,sebab Dia
Mengasihi anak- anak panah yang meleset laksana kilat,
Sebaimana pula dikasihiNya busur yang mantap
Orang tua, bagi Kahlil Gibran, hanyalah sebuah busur. Dan anak-anaknya adalah anak panah. Busur hanya bisa berarti atau bermakna jika ia melepas anak panahnya. Biarkan anak panah itu melesat mengejar target berupa mimpi dan cita-citanya.
Tuhan, menurut Kahlil Gibran, mencintai anak panah (anak-anak) yang berjalan lurus menuju targetnya, sebagaimana Tuhan juga mencintai busur (orang tua) yang selalu mendukung setiap kegiatan positif anaknya demi mencapai cita-cita yang diinginkan anaknya.
Puisi ini sangat dramatis, kontroversial, keterlaluan, sekaligus bagai bom yang meledak di telinga orang tua. Kebanyakan orang tua selalu ingin menguasai anak-anaknya sebagai miliknya yang bisa mereka atur semaunya.
Ki Hajar Dewantara pahlawan pelopor pendidikan Indonesia mengingatkan kepada kita tentang Tri Pusat Pendidikan', yang menerangkan bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan, baik di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Perlu ada kerjasama dalam pendidikan sehingga anak-anak kita menjadi generasi untuk masa depan bangsa .(abc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar