Foto : PikiranRakyat.com |
“....apakah ruginya negeri ini jika semua sekolah dan universitas , sebagaimana kita kenal selama ini , dibubarkan saja….”
( Andreas Harefa , Menjadi Manusia Pembelajar , Penerbit Buku Kompas 2000,hal 10 )
Pendidikan pertama dan utama ada dalam keluarga , Disebabkan desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan mengambil waktu orang tua, maka si ayah dan si ibu merasa tidak punya waktu lagi untuk mengajarkan banyak hal kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang kepada anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya kepada seseorang yang dianggap bijaksana di suatu tempat tertentu. Itu asal-usul sekolah , Di tempat itulah, anak-anak boleh bermain, belajar atau berlatih melakukan sesuatu apa saja yang mereka anggap patut dipelajari dan sampai saatnya kelak mereka harus kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.
Sejak itulah, terjadi pengalihan sebagian dari fungsi scola materna (pengasuhan itu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak-anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu).
Akhirnya, lembaga pengasuhan atau pendidikan sebagai tempat pengasuhan dan pembelajaran anak-anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti orang tua disebut almamater (alma mater) yang memiliki makna “ibu yang mengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu”.
Dengan demikian pengertian sekolah sebenarnya adalah tempat mengembangkan bakat, minat, rasa “ceria” untuk belajar, menjadi manusia yang berilmu, merasa bebas untuk menjadi manusia yang diinginkannya. Bukan seperti saat ini dimana sekolah sepertinya sebuah tempat yang dipaksa untuk mengikut kurikulum tertentu yang bisa menimbulkan “kebencian” dan kebosanan untuk belajar.
Sejarah asal-usul sekolah dan istilahnya dimulai pada zaman Yunani Kuno. Dahulu, orang lelaki Yunani dalam mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang bijaksana untuk bertanya atau mempelajari hal-hal maupun perkara yang mereka rasa perlu diketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan istilah scola, skhole, scolae atau schola. Keempat-empatnya memiliki arti yang sama, yaitu “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar.”
Lama-kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang untuk mempelajari sesuatu itu akhimya tidak lagi semata-mata menjadi kebiasaan dalam lelaki di masyarakat Yunani Kuno. Kebiasaan itu akhirnya diikuti oleh kaum perempuan dan anak-anak.
Saat ini sekolah mengalami perkembangan dan perubahan mengikuti peradaban manusia . Banyak kritik terhadap sekolah . John holt (1969), School is bad for children menulis dalam sebuah surat kabar Saturday evening Post tahun 1969 menyatakan keberadaan sekolah dipandang bukan menjadikan anak makin baik, bebas dan makin cerdas. Karena sekolah telah membuat anak-anak yang cerdas menjadi tidak dengan memaksakan berbagai pelajaran yang harus dipelajari oleh mereka. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan Bulletin dengan tema Growing Without School (GWS). Dan cukup mendapat sambutan. Intinya adalah bahwa anak perlu bertumbuh tanpa harus sekolah. Menurut Griffith (1998) ide Holt ini pada awalnya merujuk pada mengeluarkan anak dari sekolah, namun dalam perkembangannya menjadi sinonim dengan sekolah di rumah (home schooling), sehingga istilah GWS menjadi makin menyempit maknanya sebagai gaya khusus sekolah di rumah berdasarkan pembelajaran yang terpusat pada siswa.
Everett Reimer, School is Dead (1969) menyatakan sistem sekolah telah menjadi mekanisme untuk mendistribusikan nilai menggantikan keluarga dan gereja serta lembaga pemilikan lainnya, sementara dalam masyarakat kapitalis lebih tepat dinyatakan bahwa sekolah telah mengkonfirmasi fungsi penyebaran nilai dari institusi-institusi lama tersebut. Kesuksesan dan kegagalan seseorang telah dikaitkan dengan sekolah, padahal kenyataannya menunjukan bahwa sekolah telah mempertahankan kelompok elit dengan merampas masa dalam potensi kepemimpinannya.
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed ,Freire adalah tokoh pendidikan dari Brazil yang sangat kritis pada proses pendidikan di persekolahan, meskipun tidak mengarah pada pembubaran sekolah namun kritiknya terhadap proses pendidikan dapat membuat lembaga sekolah menjadi ancaman bagi berkembangnya hidup dan kehidupan masyarakat yang merdeka. Pendidikan harus merupakan usaha menyadarkan individu untuk belajar menggali pertumbuhan dirinya melalui situasi sehari-hari yang dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna. Pendidikan bukan untuk menindas tapi pendidikan harus membebaskan manusia menuju sifat egaliter. Pembelajaran harus jangan mereproduksi kata-kata yang sudah ada, tapi memerlukan upaya kreatif individu mengemukakan kata-katanya sendiri yang memungkinkan mereka sadar akan realitas sehingga mampu berjuang untuk kebebasannya.
Ivan Illich , Deschooling Society (1971) , kritikan terhadap sekolah yang cukup keras dan mendapatkan perhatian publik adalah yang dikemukakan oleh Illich yang mendambakan masyarakat tanpa sekolah, meski bukan tanpa pendidikan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Illich memandang bahwa sekolah telah melembagakan masyarakat serta menjadi organ yang mereproduksi masyarakat konsumen, sekolah telah memonopoli belajar sehingga pendidikan universal melalui sekolah merupakan hal yang tidak mungkin meskipun dengan merubah kelembagaan alternatif sepanjang menerapkan gaya kelembagaan sekolah yang ada sekarang.
Illich berpendapat bahwa formalisasi pendidikan sekolah telah mengakibatkan terjadinya monopoli dalam arus informasi pendidikan, sehingga mencegahnya akan berdampak baik bagi masyarakat karena akan terwujud kondisi egaliter terhadap pengetahuan, ini disebabkan sekolah-sekolah didasarkan pada hipotesis palsu, bahwa pengetahuan adalah hasil pengajaran berdasarkan kurikulum. Lebih jauh Illich berpendapat bahwa sesungguhnya belajar itu adalah kegiatan manusia yang paling tidak memerlukan manipulasi oleh orang lain. Sebagian besar pengetahuan bukanlah hasil pengajaran, tetapi lebih merupakan hasil partisipasi bebas dalam masalah-masalah yang penuh arti .
Neil Postman,The End of Education (1995), mengkritisi apa yang terjadi di sekolah dewasa ini, dimana tujuan pendidikan di sekolah amat pragmatis dan ekonomis, tanpa suatu dasar transenden yang dapat mendorong dengan kuat bagi alasan keberadaan sekolah, dan orang-orang untuk bersekolah. Dengan begitu diperlukan kajian ulang tujuan pendidikan sekolah yang dapat memberi nilai hidup dari tujuannya. Sekolah-sekolah dewasa ini dalam melaksanakan proses pendidikannya cenderung lebih berkutat pada masalah teknis terkait dengan cara dan kurang mempermasalahkan hal metafisik khususnya terkait dengan tujuan yang akan merupakan landasan kuat bagi seseorang untuk mengikuti pendidikan sekolah, dan tujuan yang kuat haruslah bersifat transenden dan spiritual sebagai alasan yang jelas bagi seseorang untuk belajar di sekolah.
Hyman dan Snook, Dangerous Scholl (1999), Sekolah telah menjadi tempat yang berbahaya bagi para siswa karena berbagai praktek yang cenderung mengabaikan prinsip pendidikan dalam menangani para siswa. Sekolah telah makin meningkat dalam mengadopsi penegakan hukum ketimbang model-model pendidikan dalam mengurangi kekerasan. Dengan demikian sekolah telah melakukan penangan yang keliru (maltreatment) baik secara fisik (physical maltreatment) maupun secara psikologis (psychological maltreatment).
Beberapa kritik yang disampaikan oleh para ahli pendidikan tersebut di atas menjadi dasar untuk reposisi terhadap keberadaan sekolah . Apa yang harus kita perbuat untuk mencari solusi ini ? Y.B Mangunwjaya dalam bukunya Mendidik Manusia Merdeka ,1995 menyatakan Jadi soalnya sekarang adalah bagaimana kita menyusun suatu masyarakat di mana orang-orang kita sungguh-sungguh menjadi manusia merdeka , manusia yang tuan-tuan dan puan-puan sejati . Manusia merdeka dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam “Azas Taman Siswa 1922.” yaitu menekankan kemerdekaan individu untuk mengatur dirinya sendiri. Kemerdekaan ini harus tetap mengacu pada rambu “tertib – damainya hidup bersama”. Kemerdekaan yang Ki Hajar maksud bukanlah kebebasan yang membuat orang lain gelisah. Merdeka juga harus menghormati hak dan kewajiban orang lain.Ki Hajar sangat tidak setuju dengan pendidikan yang menggunakan perintah, paksaan dan larangan. Bagi beliau, pendidikan cara lama ini telah mematikan kodrat alam seorang anak. Seorang guru haruslah Tut Wuri Handayani. Tut Wuri Handayani yang dimaksud oleh Ki Hajar bukanlah kemerdekaan peserta didik yang tanpa batas. Seorang guru tetap harus membimbing anak didik agar tetap selamat mewujudkan apa yang anak didik cita-citakan.
Ki Hajar juga mementingkan kemerdekaan berpikir sang anak. Anak didik dibiasakan sejak dini untuk mencari sendiri pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri. Anak didik jangan selalu dipelopori untuk selalu mengakui cara berpikir orang lain.
Kemerdekaan berpikir yang dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara bukan kemerdekaan berpikir yang liberal (bebas tanpa batas). seperti apa yang beliau katakan, “ Hendaknya jangan pula dipelopori, namun berilah kebebasan secukupnya kepada mereka.”
Pemikiran Ki Hajar Dewantara menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia haruslah pendidikan yang memerdekakan siswa. Pendidikan harus membimbing anak-anak agar menjadi orang-orang yang sungguh merdeka lahir dan batin.
Pemikiran dua ahli pendidikan menjadi renungan bagi kita semua bahwa sekolah menjadi tempat untuk manusia merdeka untuk berfikir , berkarya dan berprestasi . Guru sebagai pamong mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak – anak didik untuk berjalan sendiri, tidak terus menerus dituntun sehingga menjadi manusia mandiri .(abc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar