Cari Blog Ini

Minggu, 28 Maret 2021

Kembali ke PMP ...

Foto: siedoo.com

  
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) didengungkan lagi untuk menjadi mata pelajaran mengantikan PPKn yang sekarang masih menjadi mata pelajaran di kurikulum tingkat SD s/d SLTA . Pengantian ini tentu dilatarbelakangi oleh ancaman ideologi yang sekarang mulai dirasakan dikalangan masyarakat. Fenomena ancaman ideologi terlihat begitu maraknya kasus intoleransi dan paham radikalisme di masyarakat  bahkan menjalar ke tingkat pendidikan . Hasil kajian Bambang Pranowo yang juga seorang antropolog pada tahun 2011, menyebutkan 50 persen mahasiswa terpapar paham radikalisme dan intoleransi. Selain itu, terdapat 84 persen pelajar dan 21 persen guru setuju jika Pancasila sudah tidak relevan lagi dan setuju dengan penegakkan syariat Islam di Indonesia. Berdasarkan hasil temuan Komnas HAM tahun 2012-2018 kecenderungan sikap intoleransi ini sudah di atas 50 persen, dari yang tadinya baru 20-an persen. Ada kondisi yang meningkat terus sejak 2012 hingga 2018. Kecenderungan ini tentu perlu ada pengawasan dan penindakan dari instansi yang terkait . Tetapi yang lebih penting bagaimana pendidikan karakter bisa menjawab ancaman ini? Pendidikan  karakter adalah suatu usaha manusia secara sadar dan terencana untuk mendidik dan memberdayakan potensi peserta didik guna membangun karakter pribadinya sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Pendidikan karakter (character education) sangat erat hubungannya dengan pendidikan moral dimana tujuannya adalah untuk membentuk dan melatih kemampuan individu secara terus-menerus guna penyempurnaan diri kearah hidup yang lebih baik.  Dengan demikian diharapkan PMP menjadi pendidikan karakter untuk menjawab ancaman tersebut .
        Pertama kali PMP di sekolah diatur dalam Kurikulum 1975 yang merupakan amanat Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 (tentang GBHN) .  Sesuai dengan ketetapan tersebut, pemerintah menetapkan bahwa setiap warga negara wajib menyimak materi pendidikan moral yang bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).Di sekolah, PMP diatur dalam Kurikulum 1975. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memastikan setiap sekolah mendapatkan materi PMP sebagai pengganti pelajaran Civics. Sebagaimana P4, PMP memiliki dasar konstitusional karena berlandaskan pada TAP MPR 1973 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983.  Dalam TAP MPR 1983 dengan jelas tertulis “Untuk mencapai cita-cita [pembangunan jangka panjang], maka kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila,”  
        Dengan demikian PMP menjadi mata pelajaran yang bertujuan menanamkan doktrin ideologi Pancasila secara sistematis pada masa Orde Baru.  Menurut Doni Koesoema dalam Pendidikan Karakter (2007: hlm 50), langkah ini sangat tepat karena berhasil menyatukan watak bangsa Indonesia di bawah pemerintahan tunggal.

Kritikan terhadap PMP
          Implementasi pelajaran PMP juga menuai kritik. Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004: hlm. 10) menyebut bahwa pergantian pelajaran Civics ke PMP memiliki implikasi politik yang cukup besar. Pelajaran Civics pada praktiknya dianggap tidak berkontribusi kepada penguasa sehingga patut diganti.
Sebaliknya, mata pelajaran PMP justru dinilai dapat membendung sikap kritis siswa sekolah. Melalui cara ini, para siswa didoktrin sejak dini kepada ideologi yang sesuai kehendak rezim. Sepanjang pelaksanaannya, kurikulum Orde Baru yang sentralistik menghasilkan model pengajaran PMP yang hanya berputar pada sistem hapalan butir-butir Pancasila tanpa disertai pemahaman yang dalam.
          Lebih jauh Darmaningtyas menyatakan bahwa “Mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada ideologi negara saja, tapi tidak pernah diperkenalkan dengan hak-haknya. Maka wajar bila kemudian produk pendidikan yang lahir dari mata pelajaran PMP ini adalah orang-orang yang taat, takut, dan sekaligus pengecut, tidak kritis, serta tidak memiliki prinsip sendiri.”
    Perubahan Kurikulum 1975 menjadi Kurikulum 1984 secara tidak langsung juga menimbulkan masalah bagi pelaksanaan kegiatan pengajaran PMP. Kekacauan ini timbul karena upaya Nugroho Notosusanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-1985), yang bersikeras memasukkan pelajaran Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) ke dalam Kurikulum 1984.
      Materi baru ala Nugroho ini menimbulkan kontroversi karena dinilai tumpang tindih dengan pelajaran Sejarah Nasional dan PMP. Setelah Nugroho wafat pada tahun 1985, kekacauan dalam mata pelajaran PMP baru diakui oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru.
“Terus terang saya katakan, saat ini terjadi tumpang tindih antara P4, PSPB, PMP, dan Sejarah Nasional. Tumpang tindih tersebut akan mengakibatkan hilangnya waktu yang bisa dipakai untuk keperluan lain, atau mendesak mata pelajaran lain,” kata Fuad seperti dikutip Kompas (11/9/1985).
     Beban yang ditanggung para murid sebagai dampak politik pendidikan kian bertambah. Mereka tak hanya wajib mempelajari PMP, tapi juga harus mengikuti penataran P4 yang ditetapkan sebagai kegiatan wajib oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1982. Dalam Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (1982), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa “Hakikat PMP tiada lain adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran.”

PMP yang mana ?
           PMP kembali menjadi pembicaraan hangat di kalangan pendidik sejak tahun lalu. Pada November 2018 seperti dilansir CNN Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewacanakan untuk kembali menghidupkan pelajaran PMP di sekolah.
Supriano selaku Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan menegaskan, rencana tersebut disusun sebagai respons terhadap kemunculan paham radikalisme dan paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.
        Pada Oktober 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menegaskan tentang akan diterapkannya kembali pelajaran PMP. Menurutnya, rencana ini akan direalisasikan pada tahun 2020 dengan mengadopsi konsep pembelajaran yang baru. Baru- baru ini juga Bambang Soesatyo ( Bamsoet ) ketua MPR RI mengatakan bahwa pelajaran PMP perlu dijadikan pelajaran wajib mulai dari tingkat taman kanak-kanak , SD , SMP, SMA sampai dengan Perguruan Tinggi .
Tidak sedikit yang mendebat keputusan pemerintah yang memisahkan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan Pendidikan Pancasila. Pasalnya, Pendidikan Pancasila sangat rawan dijadikan “alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi nilai-nilai Pancasila dan manipulasi terhadap makna demokrasi yang sebenarnya.”
Pernyataan yang dikemukakan oleh Ahmad Ubaedillah, pakar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi dan Pencegahan Korupsi (2006: hlm. 7) itu secara khusus menjadikan Orde Baru sebagai contoh kasus. Lebih jauh, Ubaedillah mengkritisi jalannya pendidikan Pancasila di bawah rezim Soeharto yang tidak lebih dari sekadar instrumen pelanggengan kekuasaan.
     Kegagalan PMP hasil peninggalan Orde Baru menjadi pembelajaran bagi kita jangan sampai menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara indokrinasi dan manipulasi terhadap makna demokrasi .  Kita perlu mendidik anak bangsa dengan mencari kebenaran hakiki untuk menyosong masa depan yang lebih baik. 

Bagaimana dengan PMP sekarang ?
Belajar dari kegagalan PMP pada jaman Orde Baru menjadi pelajaran berharga bagi kita .Tentu PMP bukan menjadi alat indoktrinasi untuk melegangkan kekuasaan melainkan menjadi pendidikan karakter (character education) bagi generasi muda. Generasi milinial sekarang tidak perlu lagi diindokrinasi secara paksa untuk menghafal nilai-nilai Pancasila tetapi di beri pemahaman secara rasional tentang nilai-nilai Pancasila sehingga nilai-nilai itu mengkristal dalam diri generasi muda dan sampai akhirnya menjadi pedoman untuk melaksanakan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat . Tentu ini semua membutuhkan keteladanan dari semua pihak , mulai dari pejabat negara, lembaga negara , pemuka agama , guru sampai dengan keluarga di rumah sehingga bukan hanya perkataan saja di mulut tetapi benar-benar dilakukan dalam kehidupan sehari-hari .Untuk itu generasi muda akan melihat tentang kelakuan orang tua yang menjadi teladan bagi generasi mudanya.Semoga ! (abc)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Organisasi Bayangan versi Nadiem

                   Nadiem dengan belajar merdeka "Pendikan adalah paspor untuk masa depan karena hari esok adalah milik mereka yang mem...