Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu
mengatakan yang jujur.
( Amsal 23 : 16 )
Kejujuran sang murid ...
“Bapak salah
menghitung nilai saya seharusnya mendapat nilai 90 bukan 100 “ kata Febriana
disela-sela menerima ulangan harian .
“Oh...yaa . Tetapi ngak apa-apa deh ini bonus
untuk kamu yang jujur “ jawab saya sambil tangan saya mengembalikan kertas
ulangan itu kepada Febriana tanpa menghapus nilai ulangan tersebut.
“ Tidak , pak saya
tetap mendapat nilai 90 . Ini memang kesalahan jumlah pak “ jawab Febriana .
Sayapun malu melihat kejujuran seorang siswa , akhirnya saya ubah nilai itu .
Kejujuran menjadi nilai yang mahal saat ini . Bukankah kejujuran menjadi nilai
yang langka dan punah di jaman sekarang. Bukankah masih banyak siswa yang
protes ke gurunya kalau nilainya jelek . Atau mungkin kalau berhadapan dengan
kasus seperti Febriana akan diam . Ini khan kesalahan guru , biarkan saja ,
Ngak ada yang
tahu kok . Febriana dikenal sebagai siswa
yang cerdas . Selalu menjadi
juara pertama setiap jenjang kelas . Kecerdasan diimbangi dengan budi pekerti
yang baik telah terpatri di dalam hati Febriana . Setelah lulus SMA K IPEKA Tomang mendapat
bea siswa melanjutkan ke Nanyang University di Singapura,
Tujuan pendidikan
bukan hanya mencerdaskan otak melainkan kecerdasan hati nurani . Sebagai guru
pasti tahu bahwa pembelajaran mempunyai tiga aspek tujuan yaitu aspek kognitif
, afektif dan psikomotorik . Ketiga aspek ini menjadi satu kesatuan dalam
setiap pembelajaran . Ada wacana yang mengatakan bahwa pendidikan sekarang
lebih menekankan kepada aspek kognitif . Tidak mengherankan banyak orang yang cerdas dan pintar di Indonesia tetapi
menjadi penghuni penjara karena korupsi . Tidak logis memang kalau orang cerdas
, mempunyai jabatan dan tentu kaya kok
bisa masuk penjara. Dibandingkan misalnya dengan orang yang tidak sekolah ,
pengangguran dan miskin masuk penjara karena mencuri . Tentu semua ini ada
penyebabnya yaitu ketamakan manusia untuk mengumbar
nafsu dengan menghalalkan segala cara . Untuk itu diperlukan pendidikan secara
holistik antara kecerdasan pikiran , moral spritual dan sosial . Sekolah menjadi hal yang penting untuk
transformasi pengetahuan , nilai-nilai dan ketrampilan secara integral .
Keteladanan dan panutan menjadi hal yang perlu kita lakukan ketika kita
mentransformasikan nilai-nilai kepada siswa . Bukan kotbah dan nasehat yang
memekakkan
telingga ketika mendengarkan . Sebagai guru sayapun
harus belajar dari kebaikan sang murid . Sumber belajar di sekolah bukan buku , perpustakaan ,
lingkungan , teman sejawat tetapi juga sang murid . Tidak perlu malu kita
belajar dengan murid kita . Kitapun
harus menghilangkan keegoan kita . Guru bukanlah segalanya bagi murid . Guru
bukan sosok maha tahu . Murid bukanlah objek bagi kita , murid bukan kertas
putih yang akan kita tulis sesuai dengan ego kita . Murid adalah subyek bagi pendidikan
yang mempunyai potensi dan pribadi yang unik . Belajar dari murid perlu ada
pendekatan sang guru . Bagaimana mungkin kita akan dekat dan akrab kalau diri
kita tertutup dinding dengan murid kita . Untuk itu kita perlu membuang celah
yang memisahkan antara guru dengan murid . Kesombongan , rasa egois , ingin
minta perhatian dan sok tahu menjadi penyakit
ketika kita mengadakan hubungan dengan sang murid. Menjadi seorang gembala
itulah hal yang dapat kita lakukan . Gembala selalu mencari dombanya yang
hilang . Dengan sikap selalu mendengar tanpa banyak bicara , dengan sikap
memperhatikan tanpa minta diperhatikan dan dengan sikap memberi tanpa menerima apapun . Mungkin itu yang dapat kita lakukan sebagai guru . Ada baiknya
kita baca cerita filosofi gula di bawah ini :
Gula pasir memberi rasa manis pada kopi tapi orang menyebutnya kopi manis
bukan kopi gula . Gula pasir memberi rasa manis pada teh tapi orang menyebutnya
teh manis bukan teh gula .Orang menyebut roti manis bukan roti gula . Orang
menyebut syrup padan , syrup apel , syrup jambu padahal bahan dasarnya gula .
Tetapi gula tetap ikhlas larut dalam memberi rasa akan tetapi apabila berhubungan dengan
penyakit barulah gula disebut dengan penyakit gula . Begitulah hidup kadang kebaikan yang kita tanam tak pernah
disebut orang tapi kesalahan akan dibesar-besarkan . Iklaslah seperti gula dan
larutlah seperti gula . Apakah kita sebagai guru bisa seperti gula . Mempunyai
sikap iklas larut dalam memberi rasa . Menataplah satu persatu ke wajah murid
kita . Pandanglah mata dengan pandangan kasih .Kita akan menemukan cerita di
balik kasat matanya . Kita akan menemukan isi lubuk hatinya . Dengan empati kita akan mendengar
cerita suka dan duka mereka . Tidak terlalu sulit untuk mencari solusi bagi
murid kita . Kalau hati kita sudah menyatu untuk saling memahami dan menerima .
Tahun 2007 , saya mengalami kecelakaan dan dirawat di Rumah Sakit Husada Jakarta . Enam
belas jahitan terbalut perban di kepala
saya karena operasi . Jam 19.00 malam masuklah
beberapa orang di kamar rawat . Ternyata Febriana bersama orang tua dan adiknya
.
“ Ma...Pa..ini Pak Arif guru saya waktu Febri di SMA “ suara Frebriana
sambil memperkenalkan kedua orang tuanya kepada saya . Sayapun berjabat tangan
dengan mereka bertiga . Ada kebanggaan dalam diri saya , Febriana murid saya masih ingat saya sebagai gurunya . (abc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar