Cari Blog Ini

Selasa, 06 Oktober 2020

Ada apa dengan KPK ?

(Foto : Lokadata.ID)


 “Tak banyak orang yang menganggap kekuasaan sebagai borgol, lebih banyak yang melihatnya sebagai gelang emas yang bisa bikin orang iri.”

( Goenawan Mohamad )


Salah satu agenda Reformasi adalah memberantas KKN dalam pemerintahan . Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.

Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudian membentuk Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

 Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambat dari agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi yang berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persoalan internal yang melanda sistem politik di Indonesia pada era reformasi.

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ketika Jokowi melangkah menjadi presiden rakyat banyak berharap adanya pemberantasan korupsi berjalan dengan baik  apalagi Jokowi pernah mendapatkan Bung Hatta Anticorruption Award semasa ia masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.Ketika mulai menjabat presiden,  publik berharap Jokowi-Jusuf Kalla bisa mewujudkan janji kampanye yang bertajuk Nawacita. Salah satu program prioritas Nawacita ialah reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Namun, sepanjang pemerintahan Jokowi, menurut ICW,  masyarakat seperti kehilangan sosok Jokowi yang tegas dalam hal integritas dan pemberantasan korupsi. Hal itu bisa dilihat dari keragu-raguannya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU KPK setelah mendapat tekanan dari partai politik pendukungnya. 

Transparency International Indonesia mencatat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia selama empat tahun pemerintahan Jokowi-JK naik sebanyak empat poin. Pada 2014 skor IPK Indonesia berada di poin 34, sementara pada 2018 skornya terkerek menjadi 38 atau naik rata-rata 1 poin per tahun. Dalam 10 tahun pemerintahan SBY, skor pemberantasan korupsi Indonesia rata-rata naik 1,4 poin.

Sekarang pada masa pemerintahan Jokowi ke dua , kita dikejutkan dengan berita      ada 37 pegawai KPK, selain mantan juru bicara KPK Febri Diansyah, yang mundur dari lembaga antikorupsi itu dalam setahun ini. Data itu diungkapkan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.(detik.news 26/10/2020). Berita ini dianggap biasa saja karena pengunduran diri adalah hak setiap pekerja namun menjadi hal yang perlu diperhatikan ketika hal ini dikaitkan dengan lembaga independent seperti KPK . Dan ini menjadi pertanyaan kita semua ketika juru bicara KPK Febri Diansyah mengemukakan alasan mengundurkan diri yaitu memutuskan ‘pergi’ karena sudah tak tahan dengan kondisi di instansi anti rasuah ini.Ia memutuskan mundur karena menilai, lembaga yang bertugas memberantas korupsi ini telah berubah setelah UU KPK direvisi. Mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) ini merasa, ruang untuk berkontribusi dalam pemberantasan korupsi semakin sempit pascarevisi, sehingga ia memilih untuk pergi.(Kompas.com 30/9/2020).

Ada apa dengan KPK ? Menjawab pertanyaan ini tentu seperti peribahasa ada asap ,ada api . Dalam sebuah permasalahan ada sebab dan akibatnya . KPK sebagai lembaga independent ternyata telah mengalami perubahan setelah  adanya revisi UU KPK . Salah satunya adalah mengenai penyadapan ,  KPK tak lagi bisa leluasa melakukan penyadapan. Karena berdasarkan UU KPK hasil revisi, KPK baru dapat melakukan penyadapan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas . Padahal sebagian besar keberhasilan KPK dalam mengusut dan membongkar kasus korupsi karena kewenangan ini. Pembatasan kewenangan penyadapan ini pada akhirnya berdampak pada proses penanganan kasus korupsi yang ditanganinya. Karena, semakin panjang jalur yang harus dilalui dan waktu yang dibutuhkan untuk mengantongi izin, berpotensi mementahkan upaya pengungkapan kasus dan penangkapan yang akan dilakukan. Adanya aturan mengenai  jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan KPK dalam menangani kasus korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Padahal KPK menangani kasus korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, bukan tindak pidana umum. Sehingga kasus-kasus yang besar akan sulit untuk diberantas karena  SP3 ini . Demikian juga dengan tindakan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Firli Bahuri dinyatakan melanggar kode etik mengenai gaya hidup mewah oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK  . Diketahui, Firli menggunakan helikoper milik perusahaan swasta dalam perjalanan pribadi dari Palembang ke Baturaja.( Kompas.com 24/9/2020) . Perbuatan ini jelas mencoreng KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang mengedepankan nilai-nilai keserdahanaan , keteladanan dan integritas . Tetapi justru kita dipertontonkan dengan tindakan hidup mewah oleh seorang pemimpin yang seharusnya hidup dalam kesederhanaan dan menjunjung nilai integritas . Apakah ini menjadi penyebab mundurnya pegawai KPK ? Akibatnya 37 pegawai KPK mengundurkan diri . Tentu sebagai warga negara tetap berharap KPK menjadi lembaga anti korupsi dengan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya sehingga negara kita bersih dari korupsi yang membuat rakyat semakin sengsara hidupnya .Semoga (abc)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Organisasi Bayangan versi Nadiem

                   Nadiem dengan belajar merdeka "Pendikan adalah paspor untuk masa depan karena hari esok adalah milik mereka yang mem...