Cari Blog Ini

Senin, 08 Februari 2021

Realita agama dijaman era google...

foto ; Kompasiana.com

Beberapa hari ini saya sedang membaca buku karangan Denny J.A yang berjudul 11 FAKTA ERA GOOGLE Bergesernya Agama dari Kebenaran Mutlak  Menjadi Kekayaan Kultural Milik Bersama . Judul buku yang cukup panjang berisi tentang bergesernya agama pada era google yaitu dari kebenaran mutlak menjadi kekayaan kultural milik bersama . Dengan data dan fakta yang dari hasil survey yang cukup valid menjelaskan kepada kita ada 11 fakta tentang realita agama pada masa revolusi industri 4.0 . Saya tertarik ada dua fakta  yang disebutkan yaitu Pertama, di negara yang indeks kebahagiaannya tinggi (World Happiness Index), umumnya level beragama masyarakatnya rendah. (1) Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh World Happines Index, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka (diukur dari religiosity index). Kedua, di negara yang tingkat beragamanya tinggi (Religiosity Index), pemerintahannya cenderung korup.(2) Banyak negara yang lebih dari 90 persen populasinya menyatakan agama sangat penting dalam hidupnya. Di negara itu, tingkat korupsi pemerintahannya juga sangat tinggi (diukur dengan The Corruption Perception Index). 

Untuk fakta yang pertama , data diambil dari  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri, melalui Sustainable Development Solution Network (SDSN). Sudah terbit ranking 153 negara berdasarkan kebahagiaan warga negara, tahun 2020. Sejak tahun 2012, daftar dan laporan yang diberi nama World Happiness Report sudah dipublikasikan. Di tahun 2020, ini adalah laporan tahunan ke-delapan. Sebanyak 153 negara dinilai dan dibuatkan rangking. Indonesia, misalnya, berada di ranking ke-84, dengan nilai rata rata skor: 5.286. Sepuluh negara paling bahagia didominasi oleh negara Skandinavia (Nordic countries) yaitu : 1. Finlandia (7.809) 2. Denmark (7.646) 3. Switzerland (7.560) 4. Iceland (7504) 5. Norway (7488) 6. Netherlands (7449) 7. Sweden (7353) 8. New Zealand (7300) 9. Austria (7294) 10. Luxembeg (7238.).

Data ke dua  dari Gallup Poll untuk kategori seberapa penting agama itu dalam persepsi warga. Maka tersusunlah daftar 149 negara, dalam berbagai kategori. Yang paling puncak, di atas 90 persen warga negara menyatakan agama penting dalam hidupnya sehari-hari. Yang paling rendah, di bawah 40 persen menyatakan agama itu penting dalam hidupnya sehari- hari. Alias mayoritas menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan sehari - hari. Kita pun mendapatkan peta dunia di era Google. Di negara mana saja yang penduduknya menganggap agama itu penting, di atas 50 persen? Bahkan di atas 90 persen? Contoh daftar negara yang menyatakan agama itu penting 90 persen ke atas, misalnya India, Arab Saudi, Mesir, Filipina, Indonesia. Contoh daftar negara yang tak menganggap agama penting, di bawah 40 persen, misalnya Jepang, Hongkong, Perancis, Inggris dan Australia. Sekarang kita padukan dua data di atas. Untuk Top 10 yang warganya paling bahagia (World Happines Report, 2020), apakah penduduk di negara itu menganggap agama penting dalam hidup mereka sehari hari (Important of Religion by Countries, Gallup Poll, 2009)?(2) Di bawah ini adalah ranking top 10 negara yang warganya paling bahagia. Di sampingnya persentase seberapa penting agama bagi hidup sehari-hari mereka. 1. Finlandia (28 persen) 2. Denmark (19 persen) 3. Switzerland (41 persen) 4. Iceland (tak ada data) 5. Norway (22 persen) 6. Netherlands (33 persen) 7. Sweden (15 persen) 8. New Zealand (33 persen) 9. Austria (55 persen) 10. Luxemburg (39 persen) Delapan dari sembilan negara yang warganya paling bahagia, mayoritas warganya tak menganggap agama hal yang penting dalam hidupnya. Hanya satu, di Austria saja, yang di atas 50 persen warga menganggap agama penting. Di Swedia bahkan hanya 15 persen populasi menganggap agama itu penting. Juga di Denmark, hanya 19 persen menganggap agama itu penting

Jika dibuat rata rata negara di atas hanya 31.6 persen dari penduduk di berbagai negara itu menganggap agama penting. Dengan kata lain, mayoritas warga negara yang paling bahagia di dunia, tak menganggap agama penting dalam hidup mereka sehari-hari. Bagaimana dengan negara yang menganggap agama penting di atas 90 persen? Bagaimana tingkat kebahagiaan warga di negara itu? Saya ambil contoh pusat agama yang berbeda-beda. Dalam tanda kurung, masing-masing nama agama mayoritas. Di sampingnya data berapa persen warga menganggap agama penting di negara itu. Di sampingnya lagi, bagaimana ranking negara tersebut berdasarkan kebahagiaan warga negara. 1. India (Hindu, 90 persen, 144) 2. Philipines (Katolik, 96 persen, 52) 3. Arab Saudi (Islam, 93 persen, 27) 4. Thailand (Budha, 97 persen, 54) 5. Indonesia (Islam, 99 persen: 84) . Untuk negara yang mayoritas penduduknya menganggap agama penting, di atas 90 persen populasi, baik agama Islam, Katolik, Hindu, hingga Budha, kebahagian warga negaranya sedang- sedang saja hingga buruk. Di India, 90 persen warga menganggap agama itu penting (mayoritas Hindu). Ranking bahagia negara itu berada di papan bawah: 144 dari 153 negara yang disurvei.Di Indonesia, 99 persen warga mengganggap agama penting (mayoritas Islam), ranking bahagia warga ada di paruh papan tengah ke bawah: rangking 84 dari 153 negara yang disurvei. Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Mengapa warga negara yang paling bahagia di ruang publiknya tak lagi menganggap agama penting?

Menurut Denny ada tiga kunci menjadi penentu: Social trust ,  Freedom to make life choice dan Social support. Social trust dapat dipahami sebagai keakraban warga negara. Jika sesama warga negara terbina kehangatan, saling percaya, perkawanan, terlepas apapun latar belakang identitas warga, itulah ekosistem ruang publik yang membuat nyaman. Social trust akan rusak jika sebaliknya yang terjadi. Semangat kebencian, permusuhan, dinding yang tinggi, menjadi pemisah warga negara. Manusia kemudian tidak dinilai dari karakter dan perilakunya, tapi dari agama yang dipeluk, bahkan dari tafsir agamanya. Jika ini yang menjadi warna, keakraban warga negara sirna. Ruang publik yang sektarian, yang diwarnai social hostilities, itu buruk untuk menciptakan social trust. Di samping banyak sisi baiknya, perilaku beragama di kalangan yang fanatik, dengan kaca mata kuda, yang memonopoli Tuhan dan surga seolah hanya milik kelompoknya semata, yang mengembangkan spirit permusuhan, kebencian bagi yang berbeda tafsir dan agama, merusak social trust itu. Fanatisme dan separatisme agama menjadi unsur yang memperburuk social trust. Semakin agama dalam semangat sempit di atas semakin tak berperan, semakin baik social trust itu.

 Kedua, freedom to make life choice. Setiap warga dewasa akan nyaman jika ia dibiarkan “Be yourself,” sejauh ia tak melakukan pemaksaan dan tindakan kriminal. Soal bagaimana life style yang dipilih, konsep Tuhan mana yang ia yakini dari 4.300 agama yang ada, itu sepenuhnya urusan ia pribadi. Apa yang akan terjadi di akhirat nanti, jika ia percaya, itu konsekuensi pribadi pula. Tak ada yang dapat mengambil tanggung jawabnya ke Tuhan. Tidak ulama/pendeta. Tidak ormas. Tidak juga negara. Ruang publik yang dipenuhi oleh ormas agama fanatik acapkali seolah-olah menjadi juru bicara Tuhan, main hakim sendiri, membakar atau menyegel rumah ibadah dari pemeluk tafsir agama yang berbeda. Ini yang merusak Freedom to make life choice. Sebaliknya, ruang publik yang semakin tidak diwarnai ormas agama yang main hakim sendiri, yang membebaskan individu untuk “Be yourself,” ia lebih sesuai dengan zaman yang beragam. 

Ketiga, social support. Setiap warga negara akan lebih nyaman jika ada dukungan dari lingkungan. Ini terutama menyangkut program kesejahteraan warga negara yang diupayakan pemerintah. Itu mulai dari program kesehatan, pendidikan, hingga tunjangan bagi ekonomi lemah. Social support ini lebih bisa diberikan oleh negara yang berpenghasilan tinggi. Ini lebih ke dimensi ekonomi. Tapi memang pada negara yang kuat ekonominya, yang tumbuh karena industri, umumnya warga tak lagi menganggap agama itu penting. Tiga variabel di atas menjelaskan, mengapa justru pada negara yang ruang publiknya tak lagi diwarnai agama, yang mayoritas warga menganggap agama tak lagi penting dalam hidupnya, mereka justru paling bahagia.

Data dunia itu kembali menyentak. Top 10 negara yang paling bersih korupsi diukur dengan CPI (Corruption Perception Index) tahun 2019 (terbit tahun 2020), mayoritas warganya tak menganggap agama penting dalam hidupnya (diukur dengan Gallup Poll, 2009). Sementara negara yang mayoritas warganya menganggap agama sangat penting justru berujung para pemerintahan yang tinggi level korupsinya.

Jawaban tentang hal itu , ada data diambil  tahun 2020, lembaga ini mendayagunakan data sekunder 12 lembaga. Antara lain: Economist Intelligence Unit, World Bank, World Economic Forum, Freedom House, dan World Justice Project. Untuk perbandingan, hasil dari indeks itu adalah angka 0 hingga 100. Semakin mendekati 100, negara itu semakin bersih. Semakin mendekati 0, negara itu semakin korup.

Laporan tahun 2020, Transparancy International mengeluarkan ranking korupsi untuk 179 negara. Di bawah ini adalah daftar Top 10 negara paling bersih dari korupsi, berikut skornya: 1. New Zealand (87) 2. Denmark (87) 3. Finland (86) 4. Singapore (85) 5. Switzerland (85) 6. Sweden (84) 7. Norway (82) 8. Netherland (82) 9. Luxembourgh (80) 10. Germany (80) 

Kini data korupsi dunia itu, kita padukan dengan data persepsi pentingnya agama bagi warga negara. Ada negara yang 90 persen atau lebih warganya menganggap agama itu penting dalam hidupnya. Ada negara yang hanya 20 persen atau kurang warganya yang menganggap agama penting dalam hidupnya.

Sekarang kita padukan data itu. Untuk Top 10 negara paling bersih dari korupsi, seberapa penting agama itu bagi warga negara di sana. Di bawah ini daftar Top 10 negara yang paling bersih korupsi. Dalam tanda kurung adalah persentase pentingnya agama dalam hidup mereka. 1. New Zealand (33 persen) 2. Denmark (19 persen) 3. Finland (28 persen) 4. Singapore (70 persen) 5. Switzerland (41 persen) 6. Sweden (15 persen) 7. Norway (22 persen) 8. Netherland (33 persen) 9. Luxembourgh (39 persen) 10. Germany (40 persen). Pada negara yang paling bersih korupsi, warga negara di sana tak menganggap agama penting. Bahkan di Swedia, hanya 15 persen warganya yang menganggap agama penting. Satu-satunya negara dalam Top 10 negara di atas hanya Singapura: 70 persen, yang mayoritas warganya menganggap agama penting. Jika dibuat rata- rata, di Top 10 negara tersebut, hanya 34 persen warganya yang menganggap agama penting. Jauh lebih banyak menganggap agama tak lagi penting dalam hidupnya. Bagaimana dengan level korupsi negara yang mayoritas warga menganggap agama penting? Di bawah ini daftar negara itu. Dalam kurung berturut nama agama mayoritas. Lalu berapa persen warga negara yang menganggap agama penting. Kemudian, data ranking kebersihan pemerintahannya. 1. India (Hindu, 90 persen, 80) 2. Philipines (Katolik, 96 persen, 113) 3. Arab Saudi (Islam, 93 persen, 51) 4. Thailand (Budha, 96 persen, 101) 5. Indonesia (Islam, 97 persen, 85).  Dari 179 negara yang diukur, lima negara di atas hanya nangkring di papan tengah, hingga papan tengah bawah. Baik yang mayoritas Hindu, Katolik, Budha, Islam, kebersihan pemerintahannya buruk. Di India, misalnya, asal agama Hindu, yang 90 persen warganya menganggap agama penting dalam hidupnya, level korupsinya di level 80 dari 179 negara yang diukur. Philipina, yang 96 persen penduduknya merasa agama sangat penting, korupsinya di level 111. Tak besar efek keyakinan agama kepada moralitas publik seperti korupsi, dapat dilihat untuk kasus Indonesia. Di negara kita, 99 persen warganya menganggap agama penting dalam hidup. Korupsinya di level 85. Bahkan ditengarai, Departemen Agama di Indonesia justru departemen paling korup. Bagaimana bisa? Kementerian untuk menyampaikan pesan agama yang suci justru paling korup? Bahkan tiga menteri agama Indonesia era reformasi dipenjara karena korupsi.

Bagaimana menjelaskan fenomena di atas? Apa yang dapat kita pelajari dari data yang membuka mata?  Menurut Denny yaitu pertama, moral publik di pemerintahan TIDAK ditentukan oleh banyak atau sedikitnya mereka yang meyakini agama. Tapi korupsi lebih ditentukan oleh manajemen modern. Manajemen modern untuk korupsi itu berdiri di atas prinsip: kontrol internal pemerintahan yang efektif. Hadirnya lembaga pelacak korupsi. Bebasnya investigasi oleh media dan civil society. Rule of law dan sanksi hukum kepada koruptor. Dan kuatnya etik pemerintahan. Manajemen modern, bukan agama, yang membuat pemerintahan bersih. Jika ingin menegakkan moralitas publik, rekomendasinya: tambahkan dosis manajemen modern. Bukan tambahkan dosis agama di ruang publik. 

Kedua, agama bukanlah satu-satunya sumber moralitas publik. Apalagi agama yang ditafsir secara sempit, yang ingin memonopoli surga hanya bagi kelompoknya. Apalagi kini hadir 4.300 agama pula yang berbeda-beda. Terbukti 9 dari top 10 negara paling bersih tingkat korupsinya, mayoritas menganggap agama tak lagi penting dalam hidupnya. Lalu jika bukan agama, apa sumber moralitas itu? Homo sapiens sudah berusia 300 ribu tahun. Agama dominan masa kini hanya berusia paling jauh 3.000 tahun. Sebesar 300 ribu tahun dikurangi 3.000 tahun, artinya 99 persen dari usia homo sapiens sudah hidup tanpa agama yang ada sekarang.

Renungan baik dan buruk dalam rangka survival sudah hidup dalam DNA manusia sejak lama. Bahkan sebelum agama yang dominan sekarang hadir. Prinsip baik dan buruk itu tersimpan lebih kuat dalam akal budi manusia modern. Walau tak meyakini agama, prinsip benar dan salah itu tetap menyala. Fakta menunjukkan itu. Di Denmark, atau Swedia, hanya di bawah 20 persen warganya menganggap agama penting dalam hidupnya. Toh mereka berhasil menegakkan pemerintahan yang bersih korupsi. Ini ruang publik yang sangat bermoral.

Dua fakta telah dijelaskan memberi bukti bahwa agama bukan lagi bicara tentang benar dan salah menjadi kebenaran mutlak tetapi memberikan perbedaan untuk dihargai dan dihormati . (abc)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Organisasi Bayangan versi Nadiem

                   Nadiem dengan belajar merdeka "Pendikan adalah paspor untuk masa depan karena hari esok adalah milik mereka yang mem...