![]() |
Foto : Tribun.Kaltim - Tribunnews.com |
Sejarah lama kita sebagai bangsa memang sangat menarik. Rasa tertarik itu timbul dari kenyataan bahwa yang ditulis sering tidak sama dengan yang terjadi.
( Abdurrahman Wahid )
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dikeluarkan enam bulan setelah terjadinya G30S PKI. Pada peristiwa itu, 6 orang jenderal senior dan beberapa orang dibunuh. Pasukan pengawal presiden Cakrabirawa dituduh menjadi inisiator dalam pembunuhan itu.
Enam bulan berselang, Soekarno meminta Soeharto mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum. Langkah pertama Soeharto pasca keluarnya surat itu adalah dengan membubarkan PKI sehari berselang. Probosutedjo dalam bukunya Saya dan Mas Harto mengatakan tidak ada kalimat yang menyebutkan untuk membubarkan PKI pada Supersemar . “ Tetapi Mas Harto memiliki keyakinan pemulihan keamanan hanya akan terjadi bila PKI dibubarkan , “ kata Probosutedjo dalam buku tersebut . Tindakan ini yang menyebabkan Soekarno menulis surat berisi protes peringatan kepada Soeharto kalau wewenangnya hanya pada pemulihan keamanan dan ketertiban, bukan membubarkan partai politik. Mengenai hal ini, Soeharto tidak pernah memberikan tanggapan apapun sampai dia meninggal.
Hingga kini, Supersemar masih menjadi kontroversi. Sebab, naskah aslinya tak pernah ditemukan. Dikutip dari tirto.id dinyatakan hingga 2013, setidaknya ada 4 versi Supersemar yang disimpan oleh pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Keempat versi itu berasal dari tiga instansi, yakni 1 versi dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, 1 versi dari Akademi Kebangsaan, dan 2 versi dari Sekretariat Negara (Setneg). Yang menjadi pegangan selama Orde Baru adalah versi pertama dari Puspen TNI AD. Lantas, manakah Supersemar yang asli dari keempat versi itu? Ternyata tidak ada alias palsu semua. Hal tersebut dinyatakan langsung oleh mantan Kepala ANRI, M. Asichin, saat menjadi pembicara dalam Workshop Pengujian Autentikasi Arsip di Jakarta pada 21 Mei 2013.
Menjadi pertanyaan jika keempat versi Supersemar yang disimpan ANRI ternyata palsu, lantas di manakah naskah yang asli?
“Tidak ada yang tahu di mana surat asli Supersemar berada. Selain itu, banyak versi yang beredar... Teks otentik itu penting untuk kita lihat asas orisinalitasnya. Kalau tidak ada, ya seperti sekarang, debat yang tidak ada habisnya," kata sejarawan muda, Bonnie Triyana, seperti dilansir Rappler, 11 Maret 2015. Kemudian pernyataan ini dibenarkan oleh sejarawan LIPI yang kerap mengkritisi Orde Baru, Anhar Gonggong, pun menilai bahwa ribut-ribut Supersemar sudah tidak relevan lagi. Hampir semua tokoh terkait telah tiada. Jika nantinya Supersemar yang asli ditemukan, siapa yang harus bertanggung jawab atas kekeliruan sejarah yang telah terlanjur terjadi? Menanggapi hal ini Mahfud MD dalam Diskusi Nasional tentang Implikasi Supersemar Bagi Peradaban Indonesia di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, 23 Maret 2016 mengatakan ”Bagi hukum tata negara, masalah Supersemar dalam sejarah sudah tidak bisa dipersoalkan lagi. Kita harus move on untuk berdamai dengan sejarah. Kita harus bisa menerima perjalanan sejarah bangsa sebagai fakta,” . Tentu ada benarnya pernyataan ini . Mau sampai kapan bangsa ini meributkan Supersemar? Surat sakti yang menandai pergantian rezim Sukarno ke Orde Baru itu memang mandraguna lantaran sampai saat ini belum terungkap fakta kebenarannya.
Amir Machmud, menyatakan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah sebuah keajaiban. Dia menjadi salah satu jenderal militer yang turut menyaksikan penandatanganan Supersemar yang isinya merupakan pemindahan kekuasaan dari Sukarno ke Suharto. Supersemar yang dibawa tiga jenderal itu pun membuka jalan bagi Letnan Jenderal Soeharto menjadi orang nomor satu di Indonesia. Tiga jenderal itu ikut meninggi pula kariernya. M. Jusuf menjadi Menteri Perindustrian hingga 1978, setelahnya jadi Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan Keamanan. Sementara itu Basuki Rachmat dan Amirmachmud jadi Menteri Dalam Negeri. Misteri Supersemar belum terkuak , para saksi telah tiada . Sejarah mencatat apapun kepentingannya telah terjadi perubahan Orde lama ke Orde baru . Maka, seperti kata Anhar Gonggong, “Mari kita tempatkan ini sebagai peristiwa sejarah yang biasa saja.” (abc).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar