Cari Blog Ini

Minggu, 28 Februari 2021

Guru Profesional dan Guru Bimbel...

Foto : Bimbel-Q


"Hal utama yang membedakan adalah kualitas manusianya. Jika memang kualitasnya baik dan mendapat pendidikan terbaik, tentunya hasil yang diperoleh akan menjadi lebih maksimal". - Josephine Winda -


Dalam suatu pembelajaran di kelas XII SMA , ada sebuah pertanyaan dari seorang siswa “ Pak mengapa guru kita kalah dengan guru bimbel saya ? Guru bimbel saya menjelaskan dengan jelas dan saya mudah mengerti penjelasannya ? “ Pertanyaan ini membekas dalam diri saya ,sebab banyak juga guru yang cari tambahan menjadi guru bimbel . Saya mulai berfikir mengapa hal ini bisa terjadi ? Sebuah laporan Dinas Pendidikan, Kepala Bidang, dan Kepala Seksi di lingkungan Provinsi DKI Jakarta. Disebutkan di dalamnya, rata-rata hasil UKG DKI Jakarta tahun 2019 berada di angka 54 (skala 0-100). Angka ini menurun dibandingkan hasil UKG 2015 yaitu 58 (skala 0-100). Bahkan jika merujuk sumber resmi Neraca Pendidikan Daerah (NPD) Kemdikbud, disebutkan hasil rata-rata UKG DKI Jakarta pada 2015 bukan 58 melainkan di angka 62,58 (lebih lanjut lihat  https://npd.kemdikbud.go.id/?appid=ukg). 

Berdasarkan data di atas, jika kita bandingkan dalam kurun waktu empat tahun, ternyata kompetensi guru Jakarta mengalami penurunan, bahkan turun drastis. Perlu diingat dengan perolehan rata-rata nilai sekecil itu, di UKG 2015 justru provinsi DKI Jakarta meraih peringkat UKG terbaik ketiga versi Kemdikbud. Data ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan di Propinsi DKI Jakarta , belum secara nasional tentu mengalami penurunan . DKI Jakarta sebagai ibukota Indonesia menjadi tolak ukur kondisi pendidikan secara nasional . Artinya dengan berbagai fasilitas , informasi dan komunikasi Jakarta  menjadi parameter pembangunan SDM dan pendidikan di tanah air . Tentu dengan melihat data ini , kita bisa menjawab bahwa kompetensi guru mengalami penurunan . Ujian Kompetensi Guru meliputi dua  (2) kompetensi yang diukur:  pedagogik dan profesional  . Sedangkan kompetensi sosial dan kepribadian tidak diujikan. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru ber­kenaan dengan karakteristik siswa dilihat dari berbagai aspek seperti moral, emosional, dan intelektual. Hal tersebut berimplikasi bahwa seorang guru harus mampu menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip belajar, karena siswa memiliki karakter, sifat, dan interest yang berbeda. Dan Kompetensi Profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru da­lam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Guru mempunyai tu­gas untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan pem­belajaran, untuk itu guru dituntut mampu menyampaikan bahan pelajaran. 

Persoalan kemudian adalah, mengapa hasil uji kompetensi guru DKI mengalami penurunan drastis?  Sebuah realita paradoks terlihat, karena fakta lain menunjukkan tren alokasi APBD DKI Jakarta untuk pendidikan pada 2015-2019 terus mengalami kenaikan. Bahkan pada 2019 anggaran pendidikannya sampai ke angka 21,4 triliyun.

Anggaran pendidikan yang sangat fantastis ini ternyata belum mampu meningkatkan kompetensi (kualitas) guru DKI Jakarta. Perlu ada yang  diperbaiki dalam format pembinaan, pengelolaan atau pelatihan guru DKI. Bahkan perlu adanya perbaikan besar-besaran dalam pengaturan distribusi, membangun kompetensi, model apresiasi, dan penciptaan kondisi yang berkeadilan antara guru ( Aparatur Sipil Negara ) ASN & (Kontrak Kerja Individu ) KKI. Termasuk pembinaan yang serius terhadap guru sekolah swasta.Sementara itu para guru khususnya yang berstatus ASN DKI Jakarta boleh bersyukur, mengingat angka tunjangan kinerja daerah (TKD) yang diperolehnya sebagai aparatur negara melebihi  tunjangan  guru  di  daerah  lain.  Bahkan  jauh  melampaui  pendapatan  para  guru honorer perbulannya. Ini adalah konsekuensi logis besarnya APBD DKI Jakarta, yang mengalahkan provinsi-provinsi lain di tanah air. Para guru di daerah lain boleh jadi “iri” sekaligus sedih melihatnya.


Berdasarkan penelitian Bank Dunia beberapa tahun lalu tentang tunjangan sertifikasi guru yang hanya mampu menaikkan pendapatan guru dan minat menjadi guru, tetapi belum mampu meningkatkan kompetensi guru secara nasional. Dengan kata lain tunjangan sertifikasi guru tidak linear dengan mutu guru. Faktanya mutu guru secara nasional masih rendah. Kondisi yang sama terjadi dalam konteks hubungan hasil UKG DKI Jakarta dengan besarnya pendapatan guru (ASN) di Jakarta. Apakah ini kesalahan guru ? Ada  dua sisi yang perlu dicatat. Makin turunnya nilai kompetensi guru DKI Jakarta, tidak bisa begitu saja kesalahannya dipikulkan kepada  guru.  Para  guru  tak  bisa  dipersalahkan  bulat-bulat.  Ada  lingkaran  sistemik  di dalamnya, yang saling mempengaruhi. Karena terdapat variabel kebijakan pendidikan, pola pelatihan, pola rekruitmen  calon guru,  pola redistribusi,  bentuk  reward and  punishment, kultur birokrasi, dan sampai kepada penciptaan iklim yang adil di antara para guru, apapun statusnya secara administratif. Kesemuanya itu adalah produk regulasi daerah. Hal ini bisa kita lihat bagaimana seorang guru dipaksa untuk membuat RPP , menentukan silabus ,KKM dan lain-lain . Kalau dikumpulkan hasilnya bisa satu rim kertas . Demikian juga guru swasta awal tahun pelajaran baru sudah dibingungkan dengan pergantian silabus , RPP yang dibuat selama satu semester , Prosem dan Prota . Pengawas akan menagih mana silabus , RPP dan KKM di setiap sekolah . Administratif dan formalitas dalam bentuk laporan sudah menjadi budaya di stakeholder pendidikan kita . Seharusnya hal ini sudah mulai dirubah yaitu dengan cara pendekatan kepada siswa . Bagaimana relasi guru dengan siswa  ? Bagaimana komunikasi yang efektif dengan siswa ? Bagaimana menangani permasalahan siswa ? Bagaimana meningkatkan profesional guru ? Hal ini mungkin bisa dilakukan bukan berbagai tugas administrasi guru yang menjadi beban . Dengan demikian guru bisa kreatif dan inovatif  dalam proses pembelajaran dan siswa menikmati pembelajaran yang menyenangkan. 

Namun di sisi lain, hasil UKG yang sangat rendah itu harus menjadi bahan otokritik kita sebagai guru, untuk introspeksi diri secara personal dan kolektif. Kita harus merefleksikan kembali. Ada yang keliru mungkin dengan cara mengajar kita di sekolah, mungkin metode mengajar kita masih “begitu-begitu saja”. Mungkin kita sudah malas membaca buku (babon), karena  lebih  asyik  membaca  status  teman  di  wall  FB  atau  lebih  senang  membaca  dan mengirim ulang broadcast di WAG. Bisa jadi kita sulit adaptif dengan kebutuhan dan pendekatan terhadap peserta didik, yang nota bene adalah Generasi Z bahkan Alpha, sedangkan kita sebagian besar adalah guru Generasi Baby Boomer, Generasi X dan (sedikit) Generasi Y/Milenial. Kita lebih suka mengajar model monolog di depan kelas, ketimbang menghidupkan dialog dan diskusi kritis. Mungkin perlakuan kita ke para siswa tidak humanis, tak menarik, tak pandai memanfaatkan sumber belajar apalagi yang basisnya digital. Kita tak mampu menyelami dunia mereka, berjarak, merasa asing bahkan menuduh mereka dengan kalimat sakti: “Anak zaman sekarang banyak yang  tidak  tahu  sopan-santun,  tak  paham  tata  krama!”.  Mungkin  kita  makin mengalami penurunan motivasi, mengajar (mendidik) sekedar pelepas tanggungjawab belaka. Ada baiknya kita mulai mengikuti berbagai pelatihan dan seminar atau belajar lagi sampai S 2 atau S 3 sehingga wawasan kita mulai berubah dan pengetahuan kita semakin bertambah untuk mengalami perubahan yang begitu cepat . Jangan sampai kita di tanya oleh murid kita “ Pak hasil UKG bapak berapa ?” Kita malu menjawab karena hasil UKG kita di bawah KKM padahal kita menuntut mereka untuk ikut remedial berkali-kali agar KKM mereka tercapai  . (abc )





 





 

Minggu, 14 Februari 2021

Siswa alami learning loss ??

Foto : UNICEF.Nepal
 

Ada 68% dari 11.306 guru sebagai responden survei itu menyatakan bahwa 50% atau lebih siswa tidak memenuhi standar kompetensi yang diharapkan selama belajar dari rumah (BDR). Persepsi guru ini didasarkan pada hasil asesmen diagnostik yang mereka lakukan.( Survei Kemendikbud pada 13 November hingga 17 Desember 2020 ).


Data lebih lanjut dijelaskan  kategori sebagian kecil siswa yang memenuhi standar kompetensi ini paling besar di jenjang SMK yaitu 27,6%. Kemudian disusul SMP sebesar 23,5%, SMA sebesar 20,0%, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebesar 16,5%, dan SD sebesar 15,5%. Dengan data ini dinyatakan bahwa learning loss tanda-tandanya sudah mulai tampak, meskipun ini baru merupakan persepsi atau hasil analisis guru berdasarkan asesmen diagnostiknya. Meskipun tanda-tanda learning loss mulai tampak,  ada hal positif di mana sebagian besar guru sudah melakukan asesmen diagnostik. Hal ini perlu didorong agar asesmen diagnostik dilakukan guru secara rutin dan mengadvokasi tindak lanjutnya.

"Instrumen diagnostik ini mendorong guru terbiasa melakukan proses plan, do, check secara kontinyu dalam proses belajar. Ini esensi dari quality assurance sesungguhnya, ada feedback loop dari asesmen dan digunakan untuk perbaikan pembelajaran," kata Kabalitbang dan Perbukuan Kemendikbud, Totok Suprayitno, saat Rapat Panja Peta Jalan Pendidikan (VALID.NEWS.id , Kamis 21/1 /2021)

Implikasi dari advokasi proses tindak lanjut hasil asesmen diagnostik adalah guru mengajar tidak untuk mengejar ketuntasan kurikulum. Melainkan proses pembelajaran mengacu sesuai kemampuan siswa atau teach at the right level. Hal ini  merupakan paradigma baru. Kalau dulu yang dituntut adalah belajar menuntaskan kurikulum. Sekarang perlu dikedepankan belajar untuk memaksimalkan potensi peserta didik sesuai dengan kemampuannya. Hal ini di kenal dengan Istilah ‘visible learning’ (VL) merupakan konsep Profesor pendidikan John Hattie yang dimunculkan pada tahun 2007. Guru besar Pendidikan di universitas Auckland ini kelahiran Selandia Baru tahun 1950. Tahun 2011 (Maret), ia pindah ke Universitas Melbourne, Australia sebagai Direktur Lembaga Penelitian pendidikan Universitas Melbourne.

Visible Learning  mencakup sikap guru yang melihat pembelajaran menggunakan cara pandang siswa, dan sikap siswa yang menganggap pengajaran sebagai kunci untuk belajar berkelanjutan. Apabila pembelajaran menjadi ‘visible’, maka siswa mengetahui apa yang harus dilakukan (know what to do) dan bagaimana melakukannya (how to do it) serta guru mengetahui apakah pembelajaran berlangsung atau tidak.

Pembelajaran menjadi ‘visible’ jika tujuan pembelajaran tidak hanya menantang tetapi juga eksplisit dan nyata (John Hattie, 2011, Visible Learning). 

 Apa yang harus dilakukan oleh seorang guru ?

Menurut John Hattie , paling tidak ada sembilan kerangka berpikir yang membuat para guru menjadi efektif dalam penerapan ‘visible learning’ yaitu : 


  1. Menjadi evaluator tentang pengaruh pengajaran pada proses belajar siswa

  2. Menjadi agen perubahan yang bertanggungjawab untuk memperkaya belajar semua siswa

  3. Berbicara bagaimana siswa belajar bukah bagaimana guru mengajar

  4. Memandang asesmen sebagai umpan balik dari dampak mereka.

  5. Melakukan dialog bukan monolog dengan para siswa

  6. Bergairah dalam memberi siswa tantangan dan mengajak siswa menjawab tantangan itu

  7. Mengembangkan relasi yang posistif dengan siswa untuk mendorong pembelajaran yang efektif

  8. Memiliki kosa kata yang sama dan dimengerti semua siswanya tentang pembelajaran

  9. Mengajak siswa untuk menghargai: konsentrasi, ketekunan serta latihan.

Akhirnya masih ada kesempatan untuk berjuang ,  memperbaiki pembelajaran sehingga siswa tidak mengalami learning loss dan masih ada pengharapan untuk generasi mendatang . Semoga. (abc)

 



Sabtu, 13 Februari 2021

Valentine Day

 

Foto : My Belize.Net

"Cinta adalah keadaan pikiran yang tidak ada hubungannya dengan pikiran. "


Setiap tanggal 14 Februari menjadi Valentine Day (hari kasih sayang ) , di belahan dunia mana saja merayakan hari Valentine . Remaja , muda-mudi dan orang yang merasakan  masih muda merayakan dengan berbagai cara . Ada yang mengirim bunga , kartu , bertemu untuk menyatakan cinta atau memberi coklat kepada orang yang dicintainya . Valentine menjadi gaya hidup dan produk pasar . Menjelang hari Valentine , mall menyiapkan dengan berbagai produk untuk merayakan Valentine Day , hotel atau cafe mengadakan acara untuk menghangatkan hari kasih sayang . Demikian juga dengan stasiun televisi dan studio twenty-one menyiarkan film dan acara bertema Valentine . Namun  hal ini tidak dirasakan pada masa sekarang karena adanya pademi Covid-19 . Keramaian dan canda tawa tidak ada , hanya kesepian seorang diri di depan gadget atau smart phone  yang menemani di hari Valentine . Tentu kesepian ini bisa menjadi riang gembira ketika kita bersapa-ria melalui video call , zoom atau google.meet . Dunia virtual  menjadi pilhan untuk menikmati berbagai acara , mulai dari chanel tv ,netflix atau medsos dari facebook ,instagram maupun twitter . Dengan mudahnya kita bisa kirim surat , kartu atau video kepada siapa saja dan di mana saja melalui email ,WA , facebook dan instagram . Dunia sekarang sebatas jemari di gadget atau asteroid kita dan  dapat menikmati apa saja dengan  jaringan internet tanpa batas .

Valentine day yang kita rayakan tiap tanggal 14 Februari ternyata mempunyai sejarah yang berbeda jauh dengan yang kita rayakan hari ini. Beberapa sejarawan menelusuri asal-usul Hari Valentine di zaman Kekaisaran Romawi kuno. Pada masa itu, orang-orang memperingati tanggal 14 Februari sebagai hari libur guna menghormati Juno yang merupakan Ratu Mitologis Dewa-Dewi Romawi. Orang Romawi juga menganggap Juno sebagai Dewi Perkawinan. Malah keesokan harinya, 15 Februari, diadakan sebuah perayaan bernama Festival Lupercalia yang umum disebut dengan festival kesuburan. Lupercalia sendiri adalah momen untuk menyucikan kota dari roh jahat, melepaskan kesehatan dan mencegah kemandulan. Asal kata Lupercalia sendiri bukan dari bahasa Latin sehingga ini membuktikan bahwa festival ini lebih tua dari kekaisaran Romawi sendiri.

Pada abad kelima, Paus Hilarius melarang festival ini karena berasal dari budaya pagan dan tidak cocok dengan nilai-nilai Kristen. Namun tak lama kemudian, Paus Gelasius mencabut larangan festival tersebut dan meneruskan tradisi yang sudah dilaksanakan selama ratusan tahun tersebut. Pada masa itu juga Paus Gelasius mulai menjadikan tanggal 14 Februari lebih Kristiani dengan menjadikannya sebagai peringatan untuk Santo Valentinus.

Walau disebut sebagai peringatan untuk Santo Valentinus atau Saint Valentine, tetapi sebenarnya tidak jelas Valentine mana yang dimaksud karena nama tersebut begitu jamak digunakan pada saat itu. Terdapat tiga orang bernama Valentine yang mungkin merupakan sosok yang dimaksud oleh Paus Gelasius tersebut.

Valentine pertama hidup pada abad ketiga dan dibunuh oleh kaisar Claudius karena dia ketahuan menikahkan seorang prajurit beragama Kristen secara ilegal. Pada saat itu kaisar melarang seluruh prajuritnya untuk menikah agar mereka hanya setia pada negara saja. Valentine kedua merupakan seseorang pria asal Afrika yang dibunuh karena menolak untuk keluar dari Kristen. Sedangkan Valentine ketiga merupakan seorang uskup di italia yang dibunuh secara tragis.

Sejak masa Paus Gelasius hingga abad ke-14, tanggal tersebut terus diperingati untuk mengenang St. Valentine. Bukti pertama perubahan tanggal tersebut sebagai hari kasih sayang mulai muncul pada tahun 1477 melalui sebuah surat dari wanita bernama Margery Brewes kepada John Paston. Satu abad kemudian pada sebuah puisinya, William Shakespeare juga menggunakan simbol hari Valentine sebagai kasih sayang. 

Pada abad ke-18, bertukar surat cinta merupakan sebuah tradisi yang biasa dilakukan ketika hari Valentine tiba. Kebiasaan tersebut bermula di Inggris hingga kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan seluruh dunia. 

Sampai hari ini kita merayakan hari Valentine atau hari kasih sayang walaupun secara historis ada peristiwa tragis kematian seorang bernama Santo  Valentinus atau Saint Valentine .  “ Selamat hari kasih sayang, kita bersyukur kepada orang-orang yang membuat kita bahagia; mereka adalah tukang kebun yang membuat jiwa kita berkembang.”   (abc)


Kamis, 11 Februari 2021

Imlek

Foto : News.Harianjogja.com


除旧布新 Chú jiù bù xīn

( Semoga yang lama, diganti dengan yang baru )


Pada tahun 2021 kita merayakan tahun baru Imlek memasuki tahun Kerbau Logam. Kerbau adalah shio kedua dari dua belas zodiak, yaitu Tikus, Kerbau, Harimau, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam Jago, Anjing, dan Babi. Tahun Kerbau Logam datang setelah Tahun Tikus Logam (2020) dan sebelum Tahun Macan Air (2022). Tahun-tahun Kerbau dalam Horoskop China adalah: 1913, 1925, 1937, 1949, 1961, 1973, 1985, 1997, 2009, dan 2021. Dilansir thechinesezodiac.org, tahun Kerbau 2021 akan menjadi tahun keberuntungan dan juga sempurna untuk fokus pada hubungan, baik itu hubungan persahabatan atau cinta.

Di China, orang-orang di sana tidak menyebut tahun baru sebagai kata Imlek . Tetapi  menyebut Tahun Baru China dengan sebutan chunjie, yang jika diartikan memiliki arti "festival menyambut musim semi". Hal tersebut dikarenakan China merupakan negara dengan empat musim, yang satu di antaranya adalah musim semi. Setiap bulan Februari, China sedang mengalami musim semi. Sedangkan di Indonesia yang bukan termasuk negara dengan empat musim dan tidak mengalami musim semi, maka kata chunjie tidak tepat. Maka, di Indonesia disebut dengan perayaan Tahun Baru Imlek.

Kata Imlek sendiri berasal dari dialek Hokkian yang dalam bahasa Mandarin disebut yin li. Yin li berarti lunar calendar atau kalender lunar, artinya penanggalan yang dihitung berdasarkan peredaran Bulan. Untuk diketahui, kata Imlek hanya bisa ditemukan di Indonesia saja. Di negara-negara lain, mereka memiliki istilah masing-masing untuk menyebut nama perayaan Tahun Baru China. Selain disebut sebagai Imlek, ada sebagian orang yang menyebutnya dengan istilah sincia. Sama seperti kata Imlek, sincia juga berasal dari bunyi dialek Hokkian, yang dalam bahasa Mandarin disebut xin zheng (dibaca: sin ceng). Istilah xin zheng sendiri merupakan singkatan dari istilah xin zheng yue yang artinya bulan pertama yang baru. Dalam dialek Hokkian, istilah xin zheng yue dibaca sebagai sin cia gwe.  Tahun Baru Imlek tiba, banyak orang yang mengucapkan Gong Xi Fa Cai. Sebenarnya, apa arti Gong Xi Fa Cai itu sendiri?

 Gong Xi Fa Cai ternyata bukan berarti "Selamat Tahun Baru". Ucapan tersebut merupakan doa tentang kemakmuran. Gong Xi Fa Cai - dibaca gong zeeh fah tsai - memiliki arti "semoga kekayaan Anda semakin banyak". ( tulisan ini diambil dari beberapa sumber )

Akhirnya saya mengucapkan  “Gong he xin xi, wan shi ru yi.” bagi semua yang merayakan Tahun baru  Imlek .(abc)








 

Senin, 08 Februari 2021

Realita agama dijaman era google...

foto ; Kompasiana.com

Beberapa hari ini saya sedang membaca buku karangan Denny J.A yang berjudul 11 FAKTA ERA GOOGLE Bergesernya Agama dari Kebenaran Mutlak  Menjadi Kekayaan Kultural Milik Bersama . Judul buku yang cukup panjang berisi tentang bergesernya agama pada era google yaitu dari kebenaran mutlak menjadi kekayaan kultural milik bersama . Dengan data dan fakta yang dari hasil survey yang cukup valid menjelaskan kepada kita ada 11 fakta tentang realita agama pada masa revolusi industri 4.0 . Saya tertarik ada dua fakta  yang disebutkan yaitu Pertama, di negara yang indeks kebahagiaannya tinggi (World Happiness Index), umumnya level beragama masyarakatnya rendah. (1) Negara yang paling mampu membuat warganya bahagia, sebagaimana diukur oleh World Happines Index, populasi di negara itu cenderung menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan mereka (diukur dari religiosity index). Kedua, di negara yang tingkat beragamanya tinggi (Religiosity Index), pemerintahannya cenderung korup.(2) Banyak negara yang lebih dari 90 persen populasinya menyatakan agama sangat penting dalam hidupnya. Di negara itu, tingkat korupsi pemerintahannya juga sangat tinggi (diukur dengan The Corruption Perception Index). 

Untuk fakta yang pertama , data diambil dari  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri, melalui Sustainable Development Solution Network (SDSN). Sudah terbit ranking 153 negara berdasarkan kebahagiaan warga negara, tahun 2020. Sejak tahun 2012, daftar dan laporan yang diberi nama World Happiness Report sudah dipublikasikan. Di tahun 2020, ini adalah laporan tahunan ke-delapan. Sebanyak 153 negara dinilai dan dibuatkan rangking. Indonesia, misalnya, berada di ranking ke-84, dengan nilai rata rata skor: 5.286. Sepuluh negara paling bahagia didominasi oleh negara Skandinavia (Nordic countries) yaitu : 1. Finlandia (7.809) 2. Denmark (7.646) 3. Switzerland (7.560) 4. Iceland (7504) 5. Norway (7488) 6. Netherlands (7449) 7. Sweden (7353) 8. New Zealand (7300) 9. Austria (7294) 10. Luxembeg (7238.).

Data ke dua  dari Gallup Poll untuk kategori seberapa penting agama itu dalam persepsi warga. Maka tersusunlah daftar 149 negara, dalam berbagai kategori. Yang paling puncak, di atas 90 persen warga negara menyatakan agama penting dalam hidupnya sehari-hari. Yang paling rendah, di bawah 40 persen menyatakan agama itu penting dalam hidupnya sehari- hari. Alias mayoritas menganggap agama tak lagi penting dalam kehidupan sehari - hari. Kita pun mendapatkan peta dunia di era Google. Di negara mana saja yang penduduknya menganggap agama itu penting, di atas 50 persen? Bahkan di atas 90 persen? Contoh daftar negara yang menyatakan agama itu penting 90 persen ke atas, misalnya India, Arab Saudi, Mesir, Filipina, Indonesia. Contoh daftar negara yang tak menganggap agama penting, di bawah 40 persen, misalnya Jepang, Hongkong, Perancis, Inggris dan Australia. Sekarang kita padukan dua data di atas. Untuk Top 10 yang warganya paling bahagia (World Happines Report, 2020), apakah penduduk di negara itu menganggap agama penting dalam hidup mereka sehari hari (Important of Religion by Countries, Gallup Poll, 2009)?(2) Di bawah ini adalah ranking top 10 negara yang warganya paling bahagia. Di sampingnya persentase seberapa penting agama bagi hidup sehari-hari mereka. 1. Finlandia (28 persen) 2. Denmark (19 persen) 3. Switzerland (41 persen) 4. Iceland (tak ada data) 5. Norway (22 persen) 6. Netherlands (33 persen) 7. Sweden (15 persen) 8. New Zealand (33 persen) 9. Austria (55 persen) 10. Luxemburg (39 persen) Delapan dari sembilan negara yang warganya paling bahagia, mayoritas warganya tak menganggap agama hal yang penting dalam hidupnya. Hanya satu, di Austria saja, yang di atas 50 persen warga menganggap agama penting. Di Swedia bahkan hanya 15 persen populasi menganggap agama itu penting. Juga di Denmark, hanya 19 persen menganggap agama itu penting

Jika dibuat rata rata negara di atas hanya 31.6 persen dari penduduk di berbagai negara itu menganggap agama penting. Dengan kata lain, mayoritas warga negara yang paling bahagia di dunia, tak menganggap agama penting dalam hidup mereka sehari-hari. Bagaimana dengan negara yang menganggap agama penting di atas 90 persen? Bagaimana tingkat kebahagiaan warga di negara itu? Saya ambil contoh pusat agama yang berbeda-beda. Dalam tanda kurung, masing-masing nama agama mayoritas. Di sampingnya data berapa persen warga menganggap agama penting di negara itu. Di sampingnya lagi, bagaimana ranking negara tersebut berdasarkan kebahagiaan warga negara. 1. India (Hindu, 90 persen, 144) 2. Philipines (Katolik, 96 persen, 52) 3. Arab Saudi (Islam, 93 persen, 27) 4. Thailand (Budha, 97 persen, 54) 5. Indonesia (Islam, 99 persen: 84) . Untuk negara yang mayoritas penduduknya menganggap agama penting, di atas 90 persen populasi, baik agama Islam, Katolik, Hindu, hingga Budha, kebahagian warga negaranya sedang- sedang saja hingga buruk. Di India, 90 persen warga menganggap agama itu penting (mayoritas Hindu). Ranking bahagia negara itu berada di papan bawah: 144 dari 153 negara yang disurvei.Di Indonesia, 99 persen warga mengganggap agama penting (mayoritas Islam), ranking bahagia warga ada di paruh papan tengah ke bawah: rangking 84 dari 153 negara yang disurvei. Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Mengapa warga negara yang paling bahagia di ruang publiknya tak lagi menganggap agama penting?

Menurut Denny ada tiga kunci menjadi penentu: Social trust ,  Freedom to make life choice dan Social support. Social trust dapat dipahami sebagai keakraban warga negara. Jika sesama warga negara terbina kehangatan, saling percaya, perkawanan, terlepas apapun latar belakang identitas warga, itulah ekosistem ruang publik yang membuat nyaman. Social trust akan rusak jika sebaliknya yang terjadi. Semangat kebencian, permusuhan, dinding yang tinggi, menjadi pemisah warga negara. Manusia kemudian tidak dinilai dari karakter dan perilakunya, tapi dari agama yang dipeluk, bahkan dari tafsir agamanya. Jika ini yang menjadi warna, keakraban warga negara sirna. Ruang publik yang sektarian, yang diwarnai social hostilities, itu buruk untuk menciptakan social trust. Di samping banyak sisi baiknya, perilaku beragama di kalangan yang fanatik, dengan kaca mata kuda, yang memonopoli Tuhan dan surga seolah hanya milik kelompoknya semata, yang mengembangkan spirit permusuhan, kebencian bagi yang berbeda tafsir dan agama, merusak social trust itu. Fanatisme dan separatisme agama menjadi unsur yang memperburuk social trust. Semakin agama dalam semangat sempit di atas semakin tak berperan, semakin baik social trust itu.

 Kedua, freedom to make life choice. Setiap warga dewasa akan nyaman jika ia dibiarkan “Be yourself,” sejauh ia tak melakukan pemaksaan dan tindakan kriminal. Soal bagaimana life style yang dipilih, konsep Tuhan mana yang ia yakini dari 4.300 agama yang ada, itu sepenuhnya urusan ia pribadi. Apa yang akan terjadi di akhirat nanti, jika ia percaya, itu konsekuensi pribadi pula. Tak ada yang dapat mengambil tanggung jawabnya ke Tuhan. Tidak ulama/pendeta. Tidak ormas. Tidak juga negara. Ruang publik yang dipenuhi oleh ormas agama fanatik acapkali seolah-olah menjadi juru bicara Tuhan, main hakim sendiri, membakar atau menyegel rumah ibadah dari pemeluk tafsir agama yang berbeda. Ini yang merusak Freedom to make life choice. Sebaliknya, ruang publik yang semakin tidak diwarnai ormas agama yang main hakim sendiri, yang membebaskan individu untuk “Be yourself,” ia lebih sesuai dengan zaman yang beragam. 

Ketiga, social support. Setiap warga negara akan lebih nyaman jika ada dukungan dari lingkungan. Ini terutama menyangkut program kesejahteraan warga negara yang diupayakan pemerintah. Itu mulai dari program kesehatan, pendidikan, hingga tunjangan bagi ekonomi lemah. Social support ini lebih bisa diberikan oleh negara yang berpenghasilan tinggi. Ini lebih ke dimensi ekonomi. Tapi memang pada negara yang kuat ekonominya, yang tumbuh karena industri, umumnya warga tak lagi menganggap agama itu penting. Tiga variabel di atas menjelaskan, mengapa justru pada negara yang ruang publiknya tak lagi diwarnai agama, yang mayoritas warga menganggap agama tak lagi penting dalam hidupnya, mereka justru paling bahagia.

Data dunia itu kembali menyentak. Top 10 negara yang paling bersih korupsi diukur dengan CPI (Corruption Perception Index) tahun 2019 (terbit tahun 2020), mayoritas warganya tak menganggap agama penting dalam hidupnya (diukur dengan Gallup Poll, 2009). Sementara negara yang mayoritas warganya menganggap agama sangat penting justru berujung para pemerintahan yang tinggi level korupsinya.

Jawaban tentang hal itu , ada data diambil  tahun 2020, lembaga ini mendayagunakan data sekunder 12 lembaga. Antara lain: Economist Intelligence Unit, World Bank, World Economic Forum, Freedom House, dan World Justice Project. Untuk perbandingan, hasil dari indeks itu adalah angka 0 hingga 100. Semakin mendekati 100, negara itu semakin bersih. Semakin mendekati 0, negara itu semakin korup.

Laporan tahun 2020, Transparancy International mengeluarkan ranking korupsi untuk 179 negara. Di bawah ini adalah daftar Top 10 negara paling bersih dari korupsi, berikut skornya: 1. New Zealand (87) 2. Denmark (87) 3. Finland (86) 4. Singapore (85) 5. Switzerland (85) 6. Sweden (84) 7. Norway (82) 8. Netherland (82) 9. Luxembourgh (80) 10. Germany (80) 

Kini data korupsi dunia itu, kita padukan dengan data persepsi pentingnya agama bagi warga negara. Ada negara yang 90 persen atau lebih warganya menganggap agama itu penting dalam hidupnya. Ada negara yang hanya 20 persen atau kurang warganya yang menganggap agama penting dalam hidupnya.

Sekarang kita padukan data itu. Untuk Top 10 negara paling bersih dari korupsi, seberapa penting agama itu bagi warga negara di sana. Di bawah ini daftar Top 10 negara yang paling bersih korupsi. Dalam tanda kurung adalah persentase pentingnya agama dalam hidup mereka. 1. New Zealand (33 persen) 2. Denmark (19 persen) 3. Finland (28 persen) 4. Singapore (70 persen) 5. Switzerland (41 persen) 6. Sweden (15 persen) 7. Norway (22 persen) 8. Netherland (33 persen) 9. Luxembourgh (39 persen) 10. Germany (40 persen). Pada negara yang paling bersih korupsi, warga negara di sana tak menganggap agama penting. Bahkan di Swedia, hanya 15 persen warganya yang menganggap agama penting. Satu-satunya negara dalam Top 10 negara di atas hanya Singapura: 70 persen, yang mayoritas warganya menganggap agama penting. Jika dibuat rata- rata, di Top 10 negara tersebut, hanya 34 persen warganya yang menganggap agama penting. Jauh lebih banyak menganggap agama tak lagi penting dalam hidupnya. Bagaimana dengan level korupsi negara yang mayoritas warga menganggap agama penting? Di bawah ini daftar negara itu. Dalam kurung berturut nama agama mayoritas. Lalu berapa persen warga negara yang menganggap agama penting. Kemudian, data ranking kebersihan pemerintahannya. 1. India (Hindu, 90 persen, 80) 2. Philipines (Katolik, 96 persen, 113) 3. Arab Saudi (Islam, 93 persen, 51) 4. Thailand (Budha, 96 persen, 101) 5. Indonesia (Islam, 97 persen, 85).  Dari 179 negara yang diukur, lima negara di atas hanya nangkring di papan tengah, hingga papan tengah bawah. Baik yang mayoritas Hindu, Katolik, Budha, Islam, kebersihan pemerintahannya buruk. Di India, misalnya, asal agama Hindu, yang 90 persen warganya menganggap agama penting dalam hidupnya, level korupsinya di level 80 dari 179 negara yang diukur. Philipina, yang 96 persen penduduknya merasa agama sangat penting, korupsinya di level 111. Tak besar efek keyakinan agama kepada moralitas publik seperti korupsi, dapat dilihat untuk kasus Indonesia. Di negara kita, 99 persen warganya menganggap agama penting dalam hidup. Korupsinya di level 85. Bahkan ditengarai, Departemen Agama di Indonesia justru departemen paling korup. Bagaimana bisa? Kementerian untuk menyampaikan pesan agama yang suci justru paling korup? Bahkan tiga menteri agama Indonesia era reformasi dipenjara karena korupsi.

Bagaimana menjelaskan fenomena di atas? Apa yang dapat kita pelajari dari data yang membuka mata?  Menurut Denny yaitu pertama, moral publik di pemerintahan TIDAK ditentukan oleh banyak atau sedikitnya mereka yang meyakini agama. Tapi korupsi lebih ditentukan oleh manajemen modern. Manajemen modern untuk korupsi itu berdiri di atas prinsip: kontrol internal pemerintahan yang efektif. Hadirnya lembaga pelacak korupsi. Bebasnya investigasi oleh media dan civil society. Rule of law dan sanksi hukum kepada koruptor. Dan kuatnya etik pemerintahan. Manajemen modern, bukan agama, yang membuat pemerintahan bersih. Jika ingin menegakkan moralitas publik, rekomendasinya: tambahkan dosis manajemen modern. Bukan tambahkan dosis agama di ruang publik. 

Kedua, agama bukanlah satu-satunya sumber moralitas publik. Apalagi agama yang ditafsir secara sempit, yang ingin memonopoli surga hanya bagi kelompoknya. Apalagi kini hadir 4.300 agama pula yang berbeda-beda. Terbukti 9 dari top 10 negara paling bersih tingkat korupsinya, mayoritas menganggap agama tak lagi penting dalam hidupnya. Lalu jika bukan agama, apa sumber moralitas itu? Homo sapiens sudah berusia 300 ribu tahun. Agama dominan masa kini hanya berusia paling jauh 3.000 tahun. Sebesar 300 ribu tahun dikurangi 3.000 tahun, artinya 99 persen dari usia homo sapiens sudah hidup tanpa agama yang ada sekarang.

Renungan baik dan buruk dalam rangka survival sudah hidup dalam DNA manusia sejak lama. Bahkan sebelum agama yang dominan sekarang hadir. Prinsip baik dan buruk itu tersimpan lebih kuat dalam akal budi manusia modern. Walau tak meyakini agama, prinsip benar dan salah itu tetap menyala. Fakta menunjukkan itu. Di Denmark, atau Swedia, hanya di bawah 20 persen warganya menganggap agama penting dalam hidupnya. Toh mereka berhasil menegakkan pemerintahan yang bersih korupsi. Ini ruang publik yang sangat bermoral.

Dua fakta telah dijelaskan memberi bukti bahwa agama bukan lagi bicara tentang benar dan salah menjadi kebenaran mutlak tetapi memberikan perbedaan untuk dihargai dan dihormati . (abc)


Rabu, 03 Februari 2021

Homeschooling, alternatif pembelajaran saat pandemi...

Foto : Alodokter.com

 

"Justru mereka mengatakan lebih manusia anak- anak di homeschooling itu. Tidak ada kekerasan, tidak ada pemaksaan, motivasinya lebih dari internal dalam diri, bukan learning what to learn tetapi learning how to learn. Jadi ini yang lebih ampuh,"

( Seto Mulyadi ,  praktisi homeschooling )


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerima banyak pertanyaan dari orang tua terkait homeschooling atau sekolah mandiri di rumah selama pandemi virus corona (Covid-19).

"Banyak juga yang menanyakan ke kami di mana bisa dapat info tentang homeschooling. Kemudian bagaimana bisa daftar," ujar Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbud Samto kepada CNNIndonesia.com ( CNNIndonesia.com 11/6/2020) .

 Pademi Covid -19 tidak tahu akan berakhir sampai kapan bahkan jumlah orang yang tertular semakin meningkat  . Hal ini mencemaskan banyak pihak termasuk dalam bidang pendidikan . Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memberi instruksi untuk memperpanjang PJJ di tingkat sekolah . Hampir delapan bulan siswa telah mengikuti PJJ dan dikhawatirkan terjadi  learning loss atau hilangnya kompetensi belajar siswa. Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh orang tua untuk  mencari jalan keluar yaitu salah satunya  dengan homeschooling . Pada masa pademi ini homeschooling  sebagai alternatif pembelajaran yang bisa diimplementasikan kepada siswa . 

Di Indonesia , homeschooling sendiri dijamin legalitasnya melalui  UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang teknisnya diatur dalam Permendikbud Nomor 129 Tahun 2014 Tentang Sekolah Rumah. Dalam  Permendikbud tersebut  tipe homeschooling sendiri dibagi menjadi tiga yaitu  sekolah rumah tunggal, sekolah rumah majemuk, dan sekolah rumah komunitas. Homeschooling tunggal dijalankan oleh orang tua dan anak dalam satu keluarga. Homeschooling majemuk dilakukan oleh dua atau lebih keluarga sedangkan komunitas homeschooling merupakan gabungan beberapa homeschooling majemuk. Di Indonesia  terdapat sejumlah komunitas homeschooling  seperti Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif atau Homeschooling Kak Seto. 

Homeschooling,termasuk kategori pendidikan nonformal, tak jauh berbeda dengan pendidikan formal di sekolah. Hanya  berbeda  metode pembelajarannya. Pada pembelajaran homeschooling, metode belajar bisa dilakukan di rumah dengan orang tua atau bantuan guru. Namun juga ada layanan homeschooling yang punya ruang kelas fisik dengan beberapa guru. Mengenai kompetensi  lulusan tidak berbeda dengan pendidikan formal karena ada ujian pendidikan kesetaraan dengan ujian formal . Dengan demikan ijazah yang didapat dari ujian kesetaraan bisa digunakan untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja, seperti ijazah umumnya. Artinya ijazah ujian kesetaraan sama-sama diakui.

Pendaftaran  homeschooling bisa dilakukan oleh  orang tua dengan cara  mendaftarkan anaknya  ke Data Pokok Pendidikan melalui bantuan sekolah formal. Siswa akan terdaftar sebagai murid di sekolah tersebut dalam Dapodik. Ini agar kegiatan belajar juga bisa terpantau dengan baik.

Sejumlah pihak mulai dari pakar pendidikan dan psikolog menaksir antusiasme orang tua terhadap homeschooling akan meningkat di tengah pandemi. Ini terlebih karena polemik pembelajaran sekolah formal belakangan. Kendala mulai dari PJJ yang dianggap tak efektif, keadaan ekonomi sehingga pembayaran sekolah tersendat, sampai kekhawatiran akan wacana pembukaan sekolah ramai dibicarakan. Tentu ini sebuah pilihan dalam masa pademi Covid-19 seperti kata Kak Seto “ Semua tergantung si anak untuk memilih apakah homeschooling sebagai pelengkap, penambah, ataupun pengganti. Artinya, bisa saja masih tetap mengikuti sekolah formal sembari menempuh homeschooling pelengkap atau penambah.” ( CNNIndonesia.com 11/6/2020) . Semua terserah kita , banyak pilihan sudah ditawarkan . Homeschoolng bisa menjadi sebuah alternatif !  (abc)





Senin, 01 Februari 2021

Sekolah bukan juru selamat ...


Foto : PikiranRakyat.com


 “....apakah ruginya negeri ini jika semua sekolah dan universitas , sebagaimana kita kenal selama ini , dibubarkan saja….”

( Andreas Harefa , Menjadi Manusia Pembelajar , Penerbit Buku Kompas 2000,hal 10 )


Pendidikan pertama dan utama ada dalam keluarga , Disebabkan desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan mengambil waktu orang tua, maka si ayah dan si ibu merasa tidak punya waktu lagi untuk mengajarkan banyak hal kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang kepada anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya kepada seseorang yang dianggap bijaksana di suatu tempat tertentu. Itu asal-usul sekolah , Di tempat itulah, anak-anak boleh bermain, belajar atau berlatih melakukan sesuatu apa saja yang mereka anggap patut dipelajari dan sampai saatnya kelak mereka harus kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.

Sejak itulah, terjadi pengalihan sebagian dari fungsi scola materna (pengasuhan itu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak-anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu).

Akhirnya, lembaga pengasuhan atau pendidikan sebagai tempat pengasuhan dan pembelajaran anak-anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti orang tua disebut almamater (alma mater) yang memiliki makna “ibu yang mengasuh” atau “ibu yang memberikan ilmu”.

Dengan demikian pengertian sekolah sebenarnya adalah tempat mengembangkan bakat, minat, rasa “ceria” untuk belajar, menjadi manusia yang berilmu, merasa bebas untuk menjadi manusia yang diinginkannya. Bukan seperti saat ini dimana sekolah sepertinya sebuah tempat yang dipaksa untuk mengikut kurikulum tertentu yang bisa menimbulkan “kebencian” dan kebosanan untuk belajar.

Sejarah asal-usul sekolah dan istilahnya dimulai pada zaman Yunani Kuno. Dahulu, orang lelaki Yunani dalam mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang bijaksana untuk bertanya atau mempelajari hal-hal maupun perkara yang mereka rasa perlu diketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan istilah scola, skhole, scolae atau schola. Keempat-empatnya memiliki arti yang sama, yaitu “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar.”

Lama-kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang untuk mempelajari sesuatu itu akhimya tidak lagi semata-mata menjadi kebiasaan dalam lelaki di masyarakat Yunani Kuno. Kebiasaan itu akhirnya diikuti oleh kaum perempuan dan anak-anak.

Saat ini sekolah mengalami perkembangan dan perubahan mengikuti peradaban manusia . Banyak kritik terhadap sekolah . John holt (1969), School is bad for children menulis dalam sebuah surat kabar Saturday evening Post tahun 1969 menyatakan keberadaan sekolah dipandang bukan menjadikan anak makin baik, bebas dan makin cerdas. Karena sekolah telah membuat anak-anak yang cerdas menjadi tidak dengan memaksakan berbagai pelajaran yang harus dipelajari oleh mereka.  Pada tahun 1977, Holt menerbitkan Bulletin dengan tema Growing  Without School (GWS). Dan cukup mendapat sambutan. Intinya adalah bahwa anak perlu bertumbuh tanpa harus sekolah. Menurut Griffith (1998) ide Holt ini pada awalnya merujuk pada mengeluarkan anak dari sekolah, namun dalam perkembangannya menjadi sinonim  dengan sekolah di rumah (home schooling), sehingga istilah GWS menjadi makin menyempit maknanya sebagai gaya khusus sekolah di rumah berdasarkan pembelajaran yang terpusat pada siswa.

 Everett Reimer, School is Dead (1969) menyatakan sistem sekolah telah menjadi mekanisme  untuk mendistribusikan nilai menggantikan keluarga dan gereja serta lembaga pemilikan lainnya, sementara dalam masyarakat kapitalis lebih tepat dinyatakan bahwa sekolah  telah mengkonfirmasi  fungsi penyebaran nilai dari institusi-institusi lama tersebut. Kesuksesan dan kegagalan seseorang telah dikaitkan dengan sekolah, padahal kenyataannya menunjukan bahwa sekolah telah mempertahankan kelompok elit dengan merampas masa dalam potensi kepemimpinannya.

Paulo Freire,  Pedagogy of the Oppressed ,Freire  adalah tokoh pendidikan dari Brazil yang sangat kritis pada proses pendidikan di persekolahan, meskipun tidak mengarah pada pembubaran sekolah namun kritiknya terhadap proses pendidikan dapat membuat lembaga sekolah menjadi ancaman bagi berkembangnya hidup dan kehidupan masyarakat yang merdeka.  Pendidikan harus merupakan usaha menyadarkan individu untuk belajar menggali pertumbuhan dirinya melalui situasi sehari-hari yang dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna. Pendidikan bukan untuk menindas tapi pendidikan harus membebaskan manusia menuju  sifat egaliter. Pembelajaran harus jangan mereproduksi kata-kata yang sudah ada, tapi memerlukan upaya kreatif individu mengemukakan kata-katanya sendiri yang memungkinkan mereka sadar akan realitas sehingga mampu berjuang untuk kebebasannya.

Ivan Illich ,  Deschooling Society (1971) , kritikan terhadap sekolah yang cukup keras dan mendapatkan perhatian publik adalah yang dikemukakan oleh Illich yang mendambakan masyarakat tanpa sekolah, meski bukan tanpa pendidikan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Illich memandang bahwa sekolah telah melembagakan masyarakat serta menjadi organ yang mereproduksi masyarakat konsumen, sekolah telah memonopoli belajar sehingga pendidikan universal melalui sekolah merupakan hal yang tidak mungkin meskipun dengan merubah kelembagaan alternatif sepanjang menerapkan gaya kelembagaan sekolah yang ada sekarang.

Illich berpendapat bahwa formalisasi pendidikan sekolah telah mengakibatkan terjadinya monopoli dalam arus informasi pendidikan, sehingga mencegahnya akan berdampak baik bagi masyarakat karena akan terwujud kondisi egaliter terhadap pengetahuan, ini disebabkan sekolah-sekolah didasarkan pada hipotesis palsu, bahwa pengetahuan adalah hasil pengajaran berdasarkan kurikulum. Lebih jauh Illich berpendapat bahwa sesungguhnya belajar itu adalah kegiatan manusia yang paling tidak memerlukan manipulasi oleh orang lain. Sebagian besar pengetahuan bukanlah hasil pengajaran, tetapi lebih merupakan  hasil partisipasi bebas dalam masalah-masalah yang penuh arti .

Neil Postman,The End of Education  (1995), mengkritisi apa yang terjadi di sekolah dewasa ini, dimana tujuan pendidikan di sekolah amat pragmatis dan ekonomis, tanpa suatu dasar transenden yang dapat mendorong dengan kuat bagi alasan keberadaan sekolah, dan orang-orang untuk bersekolah. Dengan begitu diperlukan kajian  ulang tujuan pendidikan sekolah yang dapat memberi nilai hidup dari tujuannya. Sekolah-sekolah dewasa ini dalam melaksanakan proses pendidikannya cenderung lebih berkutat pada masalah teknis terkait dengan cara dan kurang mempermasalahkan hal metafisik khususnya terkait dengan tujuan yang akan merupakan landasan kuat bagi seseorang untuk mengikuti pendidikan sekolah, dan tujuan yang kuat haruslah bersifat transenden dan spiritual sebagai alasan yang jelas bagi seseorang untuk belajar di sekolah.

Hyman dan Snook,  Dangerous Scholl  (1999), Sekolah telah menjadi tempat yang berbahaya bagi para siswa karena berbagai praktek yang cenderung mengabaikan prinsip pendidikan dalam menangani para siswa. Sekolah telah makin meningkat dalam mengadopsi penegakan hukum ketimbang model-model pendidikan dalam mengurangi kekerasan. Dengan demikian sekolah telah melakukan penangan yang keliru (maltreatment) baik secara fisik (physical maltreatment) maupun secara psikologis (psychological maltreatment).

Beberapa kritik yang disampaikan oleh para ahli pendidikan tersebut di atas menjadi dasar untuk reposisi terhadap keberadaan sekolah . Apa yang harus kita perbuat untuk mencari solusi ini ? Y.B Mangunwjaya dalam bukunya Mendidik Manusia Merdeka ,1995 menyatakan Jadi soalnya sekarang adalah bagaimana kita menyusun suatu masyarakat di mana orang-orang kita sungguh-sungguh menjadi manusia merdeka , manusia yang tuan-tuan dan puan-puan sejati . Manusia merdeka dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam  “Azas Taman Siswa 1922.” yaitu menekankan kemerdekaan individu untuk mengatur dirinya sendiri.  Kemerdekaan ini harus tetap mengacu pada rambu “tertib – damainya hidup bersama”. Kemerdekaan yang Ki Hajar maksud bukanlah kebebasan yang membuat orang lain gelisah. Merdeka juga harus menghormati hak dan kewajiban orang lain.Ki Hajar sangat tidak setuju dengan pendidikan yang menggunakan perintah, paksaan dan larangan. Bagi beliau, pendidikan cara lama ini telah mematikan kodrat alam seorang anak. Seorang guru haruslah Tut Wuri Handayani. Tut Wuri Handayani yang dimaksud oleh Ki Hajar bukanlah kemerdekaan peserta didik yang tanpa batas. Seorang guru tetap harus membimbing anak didik agar tetap selamat mewujudkan apa yang anak didik cita-citakan.

Ki Hajar juga mementingkan kemerdekaan berpikir sang anak. Anak didik dibiasakan sejak dini untuk mencari sendiri pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri. Anak didik jangan selalu dipelopori untuk selalu mengakui  cara berpikir orang lain. 

Kemerdekaan berpikir yang dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara bukan kemerdekaan berpikir yang liberal (bebas tanpa batas). seperti apa yang beliau katakan, “ Hendaknya jangan pula dipelopori, namun berilah kebebasan secukupnya kepada mereka.” 

Pemikiran Ki Hajar Dewantara menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia haruslah pendidikan yang memerdekakan siswa. Pendidikan harus membimbing anak-anak agar menjadi orang-orang yang sungguh merdeka lahir dan batin.

Pemikiran dua ahli pendidikan menjadi renungan bagi kita semua bahwa sekolah menjadi tempat untuk manusia merdeka untuk berfikir , berkarya dan berprestasi . Guru sebagai pamong mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak – anak didik untuk berjalan sendiri, tidak terus menerus dituntun sehingga menjadi manusia mandiri .(abc)



Organisasi Bayangan versi Nadiem

                   Nadiem dengan belajar merdeka "Pendikan adalah paspor untuk masa depan karena hari esok adalah milik mereka yang mem...