![]() |
Foto : Bimbel-Q |
"Hal utama yang membedakan adalah kualitas manusianya. Jika memang kualitasnya baik dan mendapat pendidikan terbaik, tentunya hasil yang diperoleh akan menjadi lebih maksimal". - Josephine Winda -
Dalam suatu pembelajaran di kelas XII SMA , ada sebuah pertanyaan dari seorang siswa “ Pak mengapa guru kita kalah dengan guru bimbel saya ? Guru bimbel saya menjelaskan dengan jelas dan saya mudah mengerti penjelasannya ? “ Pertanyaan ini membekas dalam diri saya ,sebab banyak juga guru yang cari tambahan menjadi guru bimbel . Saya mulai berfikir mengapa hal ini bisa terjadi ? Sebuah laporan Dinas Pendidikan, Kepala Bidang, dan Kepala Seksi di lingkungan Provinsi DKI Jakarta. Disebutkan di dalamnya, rata-rata hasil UKG DKI Jakarta tahun 2019 berada di angka 54 (skala 0-100). Angka ini menurun dibandingkan hasil UKG 2015 yaitu 58 (skala 0-100). Bahkan jika merujuk sumber resmi Neraca Pendidikan Daerah (NPD) Kemdikbud, disebutkan hasil rata-rata UKG DKI Jakarta pada 2015 bukan 58 melainkan di angka 62,58 (lebih lanjut lihat https://npd.kemdikbud.go.id/?appid=ukg).
Berdasarkan data di atas, jika kita bandingkan dalam kurun waktu empat tahun, ternyata kompetensi guru Jakarta mengalami penurunan, bahkan turun drastis. Perlu diingat dengan perolehan rata-rata nilai sekecil itu, di UKG 2015 justru provinsi DKI Jakarta meraih peringkat UKG terbaik ketiga versi Kemdikbud. Data ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan di Propinsi DKI Jakarta , belum secara nasional tentu mengalami penurunan . DKI Jakarta sebagai ibukota Indonesia menjadi tolak ukur kondisi pendidikan secara nasional . Artinya dengan berbagai fasilitas , informasi dan komunikasi Jakarta menjadi parameter pembangunan SDM dan pendidikan di tanah air . Tentu dengan melihat data ini , kita bisa menjawab bahwa kompetensi guru mengalami penurunan . Ujian Kompetensi Guru meliputi dua (2) kompetensi yang diukur: pedagogik dan profesional . Sedangkan kompetensi sosial dan kepribadian tidak diujikan. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan karakteristik siswa dilihat dari berbagai aspek seperti moral, emosional, dan intelektual. Hal tersebut berimplikasi bahwa seorang guru harus mampu menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip belajar, karena siswa memiliki karakter, sifat, dan interest yang berbeda. Dan Kompetensi Profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Guru mempunyai tugas untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, untuk itu guru dituntut mampu menyampaikan bahan pelajaran.
Persoalan kemudian adalah, mengapa hasil uji kompetensi guru DKI mengalami penurunan drastis? Sebuah realita paradoks terlihat, karena fakta lain menunjukkan tren alokasi APBD DKI Jakarta untuk pendidikan pada 2015-2019 terus mengalami kenaikan. Bahkan pada 2019 anggaran pendidikannya sampai ke angka 21,4 triliyun.
Anggaran pendidikan yang sangat fantastis ini ternyata belum mampu meningkatkan kompetensi (kualitas) guru DKI Jakarta. Perlu ada yang diperbaiki dalam format pembinaan, pengelolaan atau pelatihan guru DKI. Bahkan perlu adanya perbaikan besar-besaran dalam pengaturan distribusi, membangun kompetensi, model apresiasi, dan penciptaan kondisi yang berkeadilan antara guru ( Aparatur Sipil Negara ) ASN & (Kontrak Kerja Individu ) KKI. Termasuk pembinaan yang serius terhadap guru sekolah swasta.Sementara itu para guru khususnya yang berstatus ASN DKI Jakarta boleh bersyukur, mengingat angka tunjangan kinerja daerah (TKD) yang diperolehnya sebagai aparatur negara melebihi tunjangan guru di daerah lain. Bahkan jauh melampaui pendapatan para guru honorer perbulannya. Ini adalah konsekuensi logis besarnya APBD DKI Jakarta, yang mengalahkan provinsi-provinsi lain di tanah air. Para guru di daerah lain boleh jadi “iri” sekaligus sedih melihatnya.
Berdasarkan penelitian Bank Dunia beberapa tahun lalu tentang tunjangan sertifikasi guru yang hanya mampu menaikkan pendapatan guru dan minat menjadi guru, tetapi belum mampu meningkatkan kompetensi guru secara nasional. Dengan kata lain tunjangan sertifikasi guru tidak linear dengan mutu guru. Faktanya mutu guru secara nasional masih rendah. Kondisi yang sama terjadi dalam konteks hubungan hasil UKG DKI Jakarta dengan besarnya pendapatan guru (ASN) di Jakarta. Apakah ini kesalahan guru ? Ada dua sisi yang perlu dicatat. Makin turunnya nilai kompetensi guru DKI Jakarta, tidak bisa begitu saja kesalahannya dipikulkan kepada guru. Para guru tak bisa dipersalahkan bulat-bulat. Ada lingkaran sistemik di dalamnya, yang saling mempengaruhi. Karena terdapat variabel kebijakan pendidikan, pola pelatihan, pola rekruitmen calon guru, pola redistribusi, bentuk reward and punishment, kultur birokrasi, dan sampai kepada penciptaan iklim yang adil di antara para guru, apapun statusnya secara administratif. Kesemuanya itu adalah produk regulasi daerah. Hal ini bisa kita lihat bagaimana seorang guru dipaksa untuk membuat RPP , menentukan silabus ,KKM dan lain-lain . Kalau dikumpulkan hasilnya bisa satu rim kertas . Demikian juga guru swasta awal tahun pelajaran baru sudah dibingungkan dengan pergantian silabus , RPP yang dibuat selama satu semester , Prosem dan Prota . Pengawas akan menagih mana silabus , RPP dan KKM di setiap sekolah . Administratif dan formalitas dalam bentuk laporan sudah menjadi budaya di stakeholder pendidikan kita . Seharusnya hal ini sudah mulai dirubah yaitu dengan cara pendekatan kepada siswa . Bagaimana relasi guru dengan siswa ? Bagaimana komunikasi yang efektif dengan siswa ? Bagaimana menangani permasalahan siswa ? Bagaimana meningkatkan profesional guru ? Hal ini mungkin bisa dilakukan bukan berbagai tugas administrasi guru yang menjadi beban . Dengan demikian guru bisa kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran dan siswa menikmati pembelajaran yang menyenangkan.
Namun di sisi lain, hasil UKG yang sangat rendah itu harus menjadi bahan otokritik kita sebagai guru, untuk introspeksi diri secara personal dan kolektif. Kita harus merefleksikan kembali. Ada yang keliru mungkin dengan cara mengajar kita di sekolah, mungkin metode mengajar kita masih “begitu-begitu saja”. Mungkin kita sudah malas membaca buku (babon), karena lebih asyik membaca status teman di wall FB atau lebih senang membaca dan mengirim ulang broadcast di WAG. Bisa jadi kita sulit adaptif dengan kebutuhan dan pendekatan terhadap peserta didik, yang nota bene adalah Generasi Z bahkan Alpha, sedangkan kita sebagian besar adalah guru Generasi Baby Boomer, Generasi X dan (sedikit) Generasi Y/Milenial. Kita lebih suka mengajar model monolog di depan kelas, ketimbang menghidupkan dialog dan diskusi kritis. Mungkin perlakuan kita ke para siswa tidak humanis, tak menarik, tak pandai memanfaatkan sumber belajar apalagi yang basisnya digital. Kita tak mampu menyelami dunia mereka, berjarak, merasa asing bahkan menuduh mereka dengan kalimat sakti: “Anak zaman sekarang banyak yang tidak tahu sopan-santun, tak paham tata krama!”. Mungkin kita makin mengalami penurunan motivasi, mengajar (mendidik) sekedar pelepas tanggungjawab belaka. Ada baiknya kita mulai mengikuti berbagai pelatihan dan seminar atau belajar lagi sampai S 2 atau S 3 sehingga wawasan kita mulai berubah dan pengetahuan kita semakin bertambah untuk mengalami perubahan yang begitu cepat . Jangan sampai kita di tanya oleh murid kita “ Pak hasil UKG bapak berapa ?” Kita malu menjawab karena hasil UKG kita di bawah KKM padahal kita menuntut mereka untuk ikut remedial berkali-kali agar KKM mereka tercapai . (abc )